INDONESIAKININEWS.COM - Kalau memang takdir mati ditembak, atau melalui jalan lain, saya terima'. Demikian lirih Sumiasih alias Sumiarsi...
INDONESIAKININEWS.COM - Kalau memang takdir mati ditembak, atau melalui jalan lain, saya terima'. Demikian lirih Sumiasih alias Sumiarsih saat ditemui wartawan di aula Lapas Wanita Klas IIA, Kebonsari, Malang, Kamis (10/7/2008).
Sumiarsih adalah muncikari kelas kakap sekaligus pengelola Wisma Happy Home di lokalisasi Dolly, Surabaya. Ia divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada akhir tahun 1998.
Vonis dijatuhkan karena Sumiarsih terbukti menjadi otak sekaligus pelaku pembunuhan keluarga Letkol (Mar) Purwanto. Pembunuhan itu terjadi 13 Agustus 1988 silam.
Pembunuhan itu mengakibatkan 4 orang yakni Purwanto, Sunarsih (istri Purwanto), Haryo Bismoko, Haryo Budi Prasetyo (anak Purwanto), dan Sumaryatun (keponakan Purwanto) tewas. Mereka dibunuh di rumah Purwanto, Jalan Dukuh Kupang Timur XVII, Surabaya.
Sumiarsih tidak sendiri saat melakukan aksi keji itu. Ia turut dibantu oleh suaminya Djais Adi Prayitno, anaknya Sugeng, menantunya Serda (Pol) Adi Saputro, serta 2 pegawainya Nanok dan Daim.
Usai membunuh Purwanto dan keluarganya, para pelaku kemudian memasukkan jenazah ke dalam mobil milik korban. Mobil itu kemudian dibuang di kawasan Songgoriti, Batu untuk menghilangkan jejak. Namun polisi dan membongkarnya.
Pembunuhan Purwanto dan keluarganya terjadi karena masalah utang-piutang. Saat itu Purwanto adalah pelanggan di wisma yang dikelola Sumiarsih. Purwanto kemudian menawarkan kerjasama kongsi mengelola wisma dengan sistem, bagi hasil. Wisma di Dolly hasil kerjasama Sumiarsih dan Purwanto ini diberi nama Rumber Rezeki
Gayung bersambut, Sumiarsih menerima tawaran Purwanto. Wisma di Dolly hasil kerjasama Sumiarsih dan Purwanto ini diberi nama Rumber Rezeki. Dalam kesepakatan awal setiap bulan SUmiarsih sebagai pengelolah harus menyetor Rp 25 juta. Tidak boleh telat dan didenda serta berbunga jika telah.
Pada awalnya bisnis itu berjalan lancar dan setoran Sumiarsih ke Purwanto tak pernah telat. Namun beberapa waktu kemudian setoran menjadi tersendat bahkan tertunda serta bunga menumpuk.
Sepinya Dolly ini karena Dolly menjadi incaran petugas. Sebab adanya isu eksploitasi anak di bawah umur yang dipekerjakan sebagai PSK, sehingga Dolly menjadi sepi. Namun bisnis adalah bisnis, Purwanto tak mau tahu, ia hanya ingin setoran dari Sumiarsih sesuai dengan kesepakatan awal.
Berbagai cara kemudian dilakukan Purwanto menekan, meneror Sumiarsih agar menyerahkan setoran bisnis wismanya. Termasuk pernah mengerahkan orang mengobrak-abrik wisma milik Sumiarsih. Tapi tetap saja setoran tak pernah lancar lagi, karena Dolly memang lagi sepi dan bunga keterlambatan setoran juga sudah banyak.
Puncaknya, Purwanto menawarkan kekurangan setoran bisa dianggap selesai jika Sumiarsih menyerahkan anak perempuannya. Purwanto tergiur dengan kemolekan anak Sumiarsih yang merupakan istri Serda (Pol) Adi Prayitno. Hal ini lah yang membuat Sumiarsih kaget dan ketakutan, sehingga membuat Sumiarsih mempunyai gagasan menghabisi Purwanto.
Rencana ini kemudian dilaksanakan pada 13 Agustus 1988. Seluruh keluarga Purwanto, istri 2 anaknya yang masih SD dan SMA serta 1 keponakannya menjadi korban dalam peristiwa pembunuhan itu.
Satu anak Purwanto yakni Haryo Abrianto selamat. Sebab saat kejadian sedang menjalani pendidikan sebagai Taruna Akademi Angkatan Laut (AAL). Meski demikian anaknya sempat mengalami gangguan kejiwaan akibat peristiwa itu dan dikeluarkan dari AAL.
Di antara enam pelaku pembunuhan, empat orang yakni Sumiarsih, Djais, Sugeng dan Adi Saputro dijatuhi vonis hukuman mati. Orang pertama yang dihukum mati yakni Adi Saputro pada 1 Desember 1992 di depan regu tembak anggota Kodam V/Brawijaya.
Sedangkan Djais suami Sumiarsih diketahui meninggal pada 2001 di RSUD Sidoarjo karena serangan jantung. Djais meninggal saat masih menjalani hukuman di Lapas Porong. Sehingga yang tersisa tinggal Sumiarsih dan Sugeng yang dieksekusi pada 19 Juli 2008 setelah menjalani hukuman penjara 20 tahun.
Kajati Jatim saat itu H Purwosudiro menyebut Sumiarsih dan anaknya Sugeng dieksekusi di lapangan Mapolda Jatim sekitar pukul 00.20 WIB. Keduanya dieksekusi dengan posisi duduk dan kepala tertutup kain.
Jenazah ibu dan anak ini kemudian dipastikan dokter meninggal dunia, lalu dikirim ke RSU Soetomo untuk dibersihkan. Setelah itu, keduanya dikembalikan pada keluarga di Malang dan dikuburkan di TPU Samaan.
S: detik