INDONESIAKININEWS.COM - Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair), Prof dr Chairul Anwar Nidom yang juga...
INDONESIAKININEWS.COM - Guru Besar Ilmu Biokimia dan Biologi Molekuler Universitas Airlangga (Unair), Prof dr Chairul Anwar Nidom yang juga Ketua Tim Riset Corona dan Formulasi Vaksin dari Professor Nidom Foundation (PNF), menegaskan metode digital subtraction angiography (DSA) yang digagas dokter Terawan Agus Putranto sudah menjadi terapi pengobatan.
"Setahu saya DSA itu awalnya lazim digunakan sebagai metode diagnosa, tetapi dengan penambahan beberapa hal yang bersifat teknis, kini DSA dapat digunakan sebagai terapi pengobatan," katanya ketika dihubungi Beritasatu.com, Sabtu (2/4/2022).
Perubahan fungsi ini, lanjut dia, sudah dibuktikan dan dipertahankan secara akademik melalui kajian ilmiah (riset) saat Terawan promosi disertasi intra arterial heparin flushing (IAHF) di Universitas Hasanuddin, Makassar. Penelitian yang dilakukan Terawan, menghasilkan inovasi baru. Hasil riset Terawan pun akhirnya bukan hanya milik pribadi atau satu bangsa saja, tetapi bermanfaat bagi negara lain dan umat manusia.
Kemudian tinggal persoalan teknis organisasi terkait wilayah keprofesian. Hal ini ibaratnya sebuah sepeda. Saat ada kreasi bisa dijadikan motor dengan mengubah putaran ban menjadi tenaga motor. Kemudian persoalannya siapa yang berhak mengendarai sepeda motor hasil kreasi tersebut, pemilik sepeda atau kreator? Perdebatan ini bisa berlangsung panjang dan lama, bahkan bertahun-tahun. "Mudah-mudahan saja tidak ada oknum yang memanfaatkan ini untuk menghentikan inovasi pengobatan DSA dan bahkan dianggap ancaman dengan menghentikan atau mematikan profesi dan pencetusnya," jelas dr Nidom.
Ia menduga permasalahan DSA dan vaksin Nusantara sepertinya dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan tertent. Untuk itu, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus menghentikan kekisruhan ini, termasuk mempertemukan dua pendapat ilmiah yang berbeda antara Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan dokter Terawan.
"Saya khawatir kalau ini tidak diatasi pemerintah dan DPR, bisa berdampak meluas pada organisasi profesi lain yang berkecimpung di lingkungan kesehatan karena alasan otoritas suatu organisasi seperti persatuan dokter gigi, apoteker, dokter hewan, kesehatan masyarakat dan lainnya," ungkap dia
Menkes cari solusi
Prof Nidom berharap menkes sebagai pembantu Presiden, sebaiknya bertindak bukan sebagai mediator atau penengah, tetapi penyelesai masalah. Hal ini dikarenakan dokter dan peneliti merupakan anak bangsa yang berkaitan dengan kesehatan . "Pemerintah harus bisa menyelesaikan masalah ini. Ini semua bertanggung jawab pada aspek kesehatan. Nilai kebenaran jangan ditentukan sepihak. Presiden melalui menkes yang bertindak sebagai orang tua harus menyelesaikan agar kericuhan ini," ucap dia.
Terkait Terawan yang dianggap IDI kurang ilmiah karena kajiannya berdasarkan pengobatan pasien stroke 10 tahun sehingga tidak berpola layaknya penelitian, Nidom menilai seorang peneliti pasti memiliki sedikit egonya, sebelum selesai menemukan hasil risetnya. Maka dalam kajian ilmiah, kalau diminta maka akan diberikan secara bertahap, karena menganggap risetnya adalah sebuah rahasia yang tidak bisa disebarluaskan.
"Jangan sampai kita membuka sesuatu semuanya, kemudian diterobos pihak lain yang sudah siap dengan fasilitas lengkap dengan alasan keterbukaan. Ini yang kadang tidak dipahami semua pihak dan akhirnya bingung sendiri. Saya menilai Terawan orang yang melangkah berani lebih maju berdasarkan hipotesis," urai Nidom.
Solusi untuk IDI dan Terawan, kata dia, sebaiknya dipertemukan agar menyelesaikan dua pendapat ilmiah berbeda secara konferensi terbuka. "Dokter Terawan sudah milik bangsa ini, bukan IDI saja. Dengan demikian, semuanya menjadi lebih jelas dan selesai karena masalah ini tidak bisa lagi di bawah meja lagi atau internal," kata dia.
s; beritasatu.com