INDONESIAKININEWS.COM - Amerika Serikat (AS) dan Inggris sudah memprediksi Rusia bakal benar-benar menyerang Ukraina. Ternyata prediksi it...
INDONESIAKININEWS.COM - Amerika Serikat (AS) dan Inggris sudah memprediksi Rusia bakal benar-benar menyerang Ukraina.
Ternyata prediksi itu benar-benar terjadi. Bila mereka sudah memprediksi serangan itu, lantas kenapa negara-negara NATO itu tidak sat set sat set melindungi Ukraina dari serangan Rusia?
NATO (The North Atlantic Treaty Organization) atau Pakta Pertahanan Atlantik Utara berisi negara-negara demokratis, dimotori oleh negara-negara maju di Barat.
Presiden Volodymyr Zelensky membawa Ukraina ke arah yang lebih dekat ke NATO dan tentu saja ke Amerika Serikat (AS). Masalah inilah yang antara lain memicu Rusia menyerang Ukraina. Namun bak kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan, Ukraina justru seperti 'di-ghosting' NATO saat Ukraina sedang butuh-butuhnya, yakni saat Ukraina sedang diinvasi Rusia mulai 24 Februari, pagi buta. Ghosting (menghilang seperti hantu) adalah istilah populer dalam percintaan anak muda untuk menggambarkan tindakan perginya salah satu pasangan tanpa penjelasan apapun.
"Kita ditinggalkan sendirian untuk membela negara kita," kata Zelensky dalam pidatonya untuk publik, dilansir AFP, Jumat (25/2/2022).
"Siapa yang siap bertarung bersama kita? Saya tidak melihat siapa pun. Siapa yang siap memberi Ukraina jaminan keanggotaan NATO? Semua orang takut," tambahnya.
Seratusan orang sudah tewas di Ukraina gara-gara aksi militer Rusia, tiga ratusan lainnya luka-luka. Serangan Rusia bahkan mencapai Ibu Kota Ukraina, Kiev. Lalu kenapa NATO yang sebagian pasukannya sudah siap-siap tidak cepat-cepat melindungi Ukraina? Kok tidak sat set sat set?
Pakar hubungan internasional mencoba menelaah sikap NATO. Ada sejumlah faktor yang membuat pasukan NATO tidak langsung mengadang tentara Rusia di pojok Eropa Timur.
Menghindari eskalasi lebih parah
Pakar hubungan internasional dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Riza Noer Arfani menilai kondisi ini seperti 'blessing in disguise' atau 'berkah terselubung' dari sikap NATO yang kurang sat set sat set. NATO memang tidak perlu gegabah soalnya negaranya Putin bukanlah negara lemah.
"Ada blessing in disguise. Kalau NATO mengambil tindakan terburu-buru, eskalasinya bisa tidak terkendali. Barat sedang berhadapan dengan rezim Putin yang belum diketahui betul langkahnya. Mereka juga tidak bisa menanggapi aliansi Rusia dengan China, Iran, dan Suriah. Tanggapan strategis militer nampak tidak ada," kata Riza kepada Perspektif, Jumat (25/2/2022).
AS dan sekutunya di NATO masih memperhitungkan secara rasional. Ada kemungkinan bila tentara NATO langsung turun tangan menghadapi pasukan Rusia di perbatasan Ukraina-Rusia, maka perang yang lebih besar bakal terjadi, korban jiwa yang jatuh bisa lebih banyak ketimbang saat ini. Meskipun tetap, korban jiwa sipil dari peperangan ini tidak bisa diremehkan betapapun sedikitnya, betapapun banyaknya, dan siapapun mereka.
"Nanti akan ada langkah yang lebih non-militer daripada mengorbankan kestabilan kawasan secara umum," kata Riza.
Sejauh ini, Ukraina dilihatnya seperti 'buffer state' atau negara penyangga dari NATO. Ukraina memang bukan anggota NATO, namun Ukraina sudah dekat dengan NATO.
Menghindari risiko perang nuklir
Rusia adalah negara dengan hulu ledak nuklir terbanyak, yakni 6.255 hulu ledak. AS punya 3.750 hulu ledak nuklir, jumlah yang dimumumkan AS pada 5 Oktober 2021, dilansir AFP. Ada risiko perang nuklir bila NATO gegabah memerangi Rusia secara langsung.
"Bisa juga ada dimensi bahwa mereka berhadapan dengan musuh yang tidak terlalu terdeteksi tindakan-tindakannya. Nuklir menjadi salah satu pertimbangannya," kata Riza.
Pakar hubungan internasional dari Universitas Pandjadjaran (UNPAD) Teuku Rezasyah membagikan perspektifnya. Dia menilai NATO juga keder dengan Rusia.
"Negara-negara NATO ngeri akan dahsyatnya kekuatan militer Rusia yang teknologinya asli dan mustahil diembargo," kata Rezasyah, dihubungi terpisah.
Dua negara inti NATO yakni Jerman dan Prancis dinilai Rezasyah masih trauma dengan kekalahan mereka melawan Rusia di masa lalu. Di sisi lain, negara Eropa yang punya empat musim itu juga butuh suplai gas dari Rusia.
"Keduanya juga ngeri jika suplai gas dari Rusia diputus. Akan sangat merusak ekonomi mereka untuk jangka panjang.
S:Acehbisnis.co