INDONESIAKININEWS.COM - Kasus yang dialami Mayjen (Purn) Emack Syadzily mengungkap praktik mafia tanah masih terus terjadi. Kongkalikong pe...
INDONESIAKININEWS.COM - Kasus yang dialami Mayjen (Purn) Emack Syadzily mengungkap praktik mafia tanah masih terus terjadi. Kongkalikong pelaku dengan pejabat pemerintahan dalam memalsukan surat tanah merupakan modus yang sering terjadi.
Tanpa proses jual beli, sertifikat lahan yang diserahkan Emack kepada tersangka Burhanuddin Abu Bakar atas dasar kepercayaan, berpindah tangan dan menjadi milik Pemkot Depok. Lahan Emack nyaris menjadi Taman Pemakaman Umum (TPU) Bedahan, di Kecamatan Sawangan, Depok.
Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (PSKP) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Widjayanto menyebut, modus dalam kasus yang dialami Emack adalah pemalsuan alat hak, dalam hal ini sertifikat hak milik atas tanah.
Agus menegaskan, Kementerian ATR/BPN sudah melakukan langkah-langkah modernisasi dan mengeluarkan kebijakan yang bertujuan mengurangi sengketa tanah. Meski begitu, di sisi lain, masyarakat juga harus menjaga dan memelihara tanahnya.
"Tanah-tanah kosong itu menjadi incaran. Kemudian bagi masyarakat yang punya tanah, segera daftarkan haknya. Daripada didaftarkan haknya sama orang lain," ujarnya.
Berikut wawancara lengkap wartawan merdeka.com Wilfridus Setu Embu dan Ronald dengan Agus Widjayanto pada 21 Januari 2022:
Apa saja modus sindikat mafia tanah?
Banyak modus. Pertama, pemalsuan alat hak. Alat hak di kita kan banyak. Ada ada girik, ada SKT (surat kepemilikan tanah), ada surat keterangan garapan, ada tanah bekas eigendom. Jadi bukti-bukti lama yang sudah tidak berlaku lagi, tetapi masih digunakan sebagai petunjuk kepemilikan tanah. Ini yang banyak dipalsukan sehingga satu bidang tanah bisa diklaim oleh banyak alat hak.
Kenapa begitu? Karena di Indonesia ini, tanah milik bangsa, milik rakyat. Siapapun boleh mengajukan permohonan hak. Cuma kemudian, tanah-tanah ini milik rakyat apa buktinya? Itulah yang kemudian dicari bukti-bukti. Setiap daerah punya alat hak masing-masing juga. Itu pemalsuan alat hak.
(Modus kedua) melegalisir alat hak melalui pengadilan. Bagaimana kok pengadilan melegalisir alat-alat hak yang palsu misalnya. Bisa saja, pihak-pihak yang sebetulnya berkomplot, berperkara di pengadilan. Pengadilan berarti mengambil satu putusan. Misalnya saya dan Anda, kita mau menyasar tanahnya si B. Kita menggunakan alat hak palsu. Kita berperkara mengenai kepemilikan dan putusan pengadilan menyatakan saya adalah pemilik sah berdasarkan alat tertentu yang kita utarakan. Atas dasar itu kita mengklaim bahwa kita pemilik tanah berdasarkan putusan pengadilan itu. Jadi kita eksekusi itu barang.
Modus yang lain, yang sekarang banyak terjadi kayak kasusnya Pak Dino Patti Djalal, pakai figur. Ada yang seakan-akan mau beli. Ada yang seakan-akan menjadi notaris. Kebetulan ada yang mau menjual, ada orang yang kemudian mengaku untuk membeli. Kemudian dibayar uang mukanya. Setelah diserahkan untuk dicek, diganti sertifikatnya menjadi sertifikat palsu diserahkan kembali kepada pemiliknya.
Calon pembelinya kemudian memasukkan tanda tangan seakan-akan surat kuasa untuk menjual. Jadi modus menggunakan surat kuasa yang palsu.
Kemudian modus okupasi (pendudukan lahan). Dilihat tanah yang kira-kira kosong, mereka okupasi. Diajukan permohonan di situ. Itu yang jadi modus juga. Kemudian menghilangkan warkah juga menjadi salah satu modus juga.
Kasus yang dialami Mayjen (Purn) Emack Syadzily termasuk modus apa?
Kalau itu pemalsuan alat hak.
Bagaimana peran notaris dalam mafia tanah?
Kan ada oknum yang pura-pura beli. Ada yang berperan sebagai calon pembeli. Kemudian setelah pembeli tawar menawar dia bilang akan melakukan pengecekan, bawa ke notaris. Notaris ini tugasnya melakukan pengecekan. Tapi pada saat sertifikat itu dibawa, padahal notarisnya bukan notaris beneran. Nanti dipalsukan sertifikatnya diganti dengan sertifikat palsu. Yang palsu diberikan lagi ke pemilik. Yang aslinya dia pegang. Kemudian dibikin lah surat kuasa palsu. Ketika dibuat surat kuasa palsu, itu sertifikatnya kan sudah pasti asli.
Jadi sertifikat tanah asli sudah di tangan pelaku?
Iya. kemudian dibuat akta jual beli. Begitu dibuat akta jual belinya bisa dilakukan (balik nama) di PPAT yang resmi. Dia sudah ada surat kuasa meskipun palsu. Notaris kan tidak bisa mengecek itu palsu atau tidak surat kuasa. Kemudian dibuatlah aktanya. Setelah dibuat aktanya, dibalik nama. Setelah dibalik nama biasanya dijadikan jaminan utang kalau tidak dijual beli. Dia beli 1 miliar dijadikan jaminan utang 5 miliar, dia udah untung.
Proses pengecekan sebelum balik nama di BPN itu seperti apa?
Dalam jual beli (tanah) itu harus dilakukan pengecekan. Pengecekan itu untuk kita ketahui apakah sertifikat yang akan jadi objek transaksi memang produk BPN atau bukan. Asli atau tidaknya, BPN tahu. Ada kode-kodenya seperti halnya uang. Kedua, apakah tanah yang akan ditransaksikan itu ada sengketa atau tidak, ada sita atau tidak, ada blokir atau tidak. Sehingga kalau mau beli tanah sudah tahu ada disita, ya jangan dibeli, ada risiko.
Kalau dibeli juga boleh nggak? Boleh saja, tapi siap tanggung risikonya. Itu kan hanya mengecek kondisi yurisdis dari tanah itu saja. Tapi lebih baik lagi kalau dicek juga fisiknya di lapangan. Ini tanah fisiknya benar ada atau tidak di lapangan. Jangan-jangan yang dijual ini laut lagi. Jangan-jangan yang dijual ini sudah jadi kampung. Itu fungsi pengecekan.
Setelah pengecekan, kita yakin, baru kita bikin akta jual belinya. Setelah dibuat akta jual belinya baru bisa didaftarkan untuk balik nama. Dan pada waktu membuat akta jual beli di hadapan PPAT, dua-duanya harus hadir. Kalau enggak hadir di hadapan PPAT, bagaimana dia mau meyakinkan pembelinya siapa dan penjualnya adalah orang yang benar-benar penjual. Ada enggak yang jual beli dihadapkan PPAT? Ada. Tapi akibatnya yang menjual kemudian tidak mengakui dia menjual. Itu kenapa jual beli harus dilakukan di hadapan PPAT. PPAT harus membacakan yang dijual apa, berapa nilainya.
Langkah apa saja yang sudah dilakukan Kementerian ATR/BPN untuk memberantas mafia tanah?
Kita membuat MoU dengan Bareskrim, dengan Kejaksaan. BPN ini tidak bisa kerja sendiri. Sebetulnya kasus mafia tanah ini kan bagian dari sengketa. Sengketa pertanahan yang ditangani kementerian ini kan sengketa pertanahan yang sifatnya perdata dan tata usaha negara. Perdata menyangkut kepemilikan, misalnya warisan. Tata usaha negara kalau di dalam proses pemberian haknya atau pendaftaran tanahnya ada kekeliruan prosedur.
Tapi ada juga sengketa tanah yang lahir karena ada pemalsuan. Jadi sengketa yang ada unsur pidananya. Inilah yang masuk kategori kejahatan pertanahan. Kementerian tidak punya kewenangan untuk uji materiil. Karena kita kan lembaga administrasi. Yang punya kewenangan itu aparat penegak hukum, kepolisian dan kejaksaan.
Kadang-kadang ada sengketa yang diadukan ke BPN, kemudian sengketa yang sama diadukan juga ke kepolisian. Kalau kita tidak berkoordinasi keputusan kita bisa berbeda. Makanya kita berkoordinasi, kita buat MoU. Dengan MoU itu pengaduan yang masuk ke kita kalau ada aspek pidananya kita koordinasikan dengan kepolisian. Demikian juga pidana umum yang masuk ke kepolisian yang menyangkut pertanahan dikoordinasikan ke kita.
Kita juga membuat target di dalam satu tahun ada 60 kasus tanah di berbagai daerah yang akan kita selesaikan. Apa setahun itu hanya ada 60 kasus pidana pertanahan? Pastinya lebih. Tapi kita kan juga dibatasi dengan SDM, anggaran, dan lain-lain. Jadi meskipun 60 kasus tapi tujuannya yakni memberi efek jera kepada masyarakat supaya mereka tidak coba-coba melakukan kejahatan pertanahan. Sebetulnya lebih ke pencegahan. Kita memang keras. Tapi tujuannya untuk pencegahan sebenarnya. Supaya orang berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan pertanahan.
Sekarang ada sekitar 240 kasus yang kita tangani dengan tim. Jadi dari kerja sama ini kita bentuk tim Satgas Mafia Tanah.
240 Kasus itu terjadi di tahun 2021 saja?
240 Kasus itu dari 2018.
Bapak menyebutkan ada beberapa alat hak atas tanah. Mungkinkah lebih dari satu alat hak yang diakui?
Alat hak itu adalah dasar untuk mengajukan permohonan hak. Kalau bukti hak cuma satu, sertifikat. Tidak ada yang lain. Tapi untuk bisa punya sertifikat, misalnya Anda menguasai tanah udah bertahun-tahun, terus mengajukan permohonan hak. BPN tanya dong, 'Sampeyan di situ apa buktinya kalau itu punya, Anda?'. Kemudian dicarilah. Yang dikenal adalah girik. Saya punya girik nih. Giriknya benar oke, lalu ada keterangan dari kepala desa, menyatakan bahwa Anda yang punya girik dan giriknya memang tercatat di situ.
Kemudian diukur lokasinya, diplot di peta, ada peta pendaftaran. Ternyata belum ada hak di situ. Udah, dikeluarkan sertifikat. Begitu dikeluarkan sertifikat ada muncul girik lagi. Girik ini yang girik-girik palsu. Yang kadang-kadang girik palsu ini dimenangkan juga di pengadilan.
Menteri ATR/BPN menyebut ada 135 pegawai nakal BPN yang ditindak terkait mafia tanah?
Iya. Kalau data itu ada di inspektorat. Menurut inspektorat sekitar segitu lah.
Bagaimana cara masyarakat menjaga tanahnya agar tidak jadi sasaran mafia tanah?
Pertama, BPN terus berbenah. Kita terus berupaya meningkatkan, mencari cara bagaimana supaya sengketa ini berkurang. Pertama kita tingkatkan produk kita. Kualitas pengukuran, kualitas pendaftaran. Kita juga pasti akan menerbitkan kebijakan-kebijakan yang sangat signifikan untuk mengurangi sengketa. Misalnya dengan digitalisasi. Ini juga bisa mengurangi pemalsuan maupun kehilangan warkah. Sekarang kan karena warkahnya masih berupa hard copy, bisa diambil saja.
Tapi meskipun kita melakukan langkah-langkah modernisasi, kebijakan yang akan signifikan mengurangi sengketa, masyarakat juga harus menjaga dan memelihara tanahnya. Tanah itu dijaga. Tanah-tanah kosong itu menjadi incaran. Kemudian bagi masyarakat yang punya tanah segera daftarkan haknya. Daripada didaftarkan haknya sama orang lain. Kalau yang belum terdaftar, BPN nggak bisa melakukan apa-apa. Daftarkan segera.
Dengan kondisi yang masih seperti sekarang, kalau nanti kan sertifikat elektronik. Sekarang masih berupa kertas hard copy. Jangan mudah percaya pada orang, menyerahkan sertifikat itu. Kejadian-kejadian Pak Dino Patti Djalal, Pak Soetrisno Bachir, Nirina Zubir, itu kan karena orang tuanya percaya kepada orang lain, asistennya. Itu diserahkan begitu saja. Akhirnya ada pemalsuan.
Jadi sedapat mungkin, kalaupun orang tua memberikan kuasa tanah kepada orang yang benar-benar dipercaya, keluarga lah misalnya.
Terkait program sertifikat tanah digital, bagaimana perkembangannya sampai saat ini?
Untuk sertifikat digital, bidang tanahnya harus terdaftar dulu semuanya. Jadi sekarang BPN digencarkan. Semua bidang tanah sedang didata. Kemudian proses digitalisasi data-data. Untuk sertifikat digital berarti data-data itu harus digital. Data itu bukan harus di-scanning. Sehingga sekarang ini dalam proses digitalisasi ini masih terus berjalan, digitalisasi data, warkah, dan lain-lain. Kalau semua sudah siap baru kita bisa lakukan sertifikat elektronik.
Tapi itu pun akan dilakukan bertahap. Tidak dilakukan secara serentak. Bisa kaget juga orang kalau dilakukan. Jadi harus bertahap. Ini juga untuk bidang-bidang tanah untuk daerah-daerah yang sudah lengkap terdaftar semua. Jadi sertifikasi elektronik nanti akan bertahap pelaksanaannya.
s; merdeka.com