INDONESIAKININEWS.COM - Harus kita akui kalau keturunan Tionghoa adalah orang-orang yang pintar dalam berjualan. Kepintaran mereka bukan ha...
INDONESIAKININEWS.COM - Harus kita akui kalau keturunan Tionghoa adalah orang-orang yang pintar dalam berjualan. Kepintaran mereka bukan hanya masalah jual menjual barang, tapi bagaimana mengembangkan bisnis mereka dan menjaga relasi dengan orang-orang yang diperlukan.
Tapi jangan pernah batasi bahwa jualan itu hanya sebatas jualan barang, kita juga bisa menjual layanan. Bandingkan pelayanan Bank BUMN seperti BRI dibandingkan dengan BCA yang dikuasai cukong, mohon maaf ya guys penulis harus bilang bagai langit dan bumi. Sekali lagi maaf, karena penulis nasabah dua bank tersebut.
Lalu apalagi? Jualan agama, kita punya ustad Felix Kweetiau yang adalah keturunan Tionghoa. Jualan agama Felix di media sosial paling laris dibandingkan ustad lainnya. Ini pernah ada penelitian, bahwa selain follower, postingan-postingan Felix adalah yang paling banyak diikuti, diposting ulang dan dibahas.
Kehebatan keturunan Tionghoa dalam bisnis karena sikap mereka yang fleksibel dan cepat beradaptasi dengan kondisi apapun. Pada era orde baru, dimana diskriminasi terhadap etnis Tionghoa begitu marak, tapi pada saat yang sama banyak pebisnis Tionghoa yang mencapai puncak kejayaannya.
Bahkan karena saking fleksibel, pindah agama termasuk jalan yang akan ditempuh sebagian keturunan Tionghoa demi mengembangkan bisnisnya. Dedy Corbuzier contohnya, raja podcast di Indonesia yang harus kita akui pengaruhnya di dunia media sosial saat ini begitu besar. Lalu ada bos JNE dan masih banyak lagi.
Pebisnis Tionghoa yang mencapai puncak pada era Soeharto, salah satunya adalah Hary Tanoe. Saat diskriminasi terhadap etnis Tionghoa marak, Hary Tanoe malah nasib kebalikannya. Beliau melakukan relasi hingga ke puncak kekuasaan pada era itu yaitu Soeharto, melalui anaknya Bambang Trihatmodjo.
Kedekatan tersebut semakin retak setelah rezim silih berganti, dan berbagai sengketa rebutan hak milik pun terjadi antara Hary Tanoe melawan anak-anak Soeharto. Ya itulah bukti fleksibel beliau sebagai keturunan Tionghoa.
Pada tahun 2014 partai Perindo milik Hary Tanoe mendukung Prabowo, lalu pada 2017 mereka deklarasi mendukung Anies dan melawan Ahok yang sama-sama keturunan Tionghoa. Pada 2019 Perindo balik arah dan mendukung Jokowi, ini panjang ceritanya dan termasuk ke dalam strategi Jokowi memecah koalisi Prabowo sejak awal menjadi presiden pada 2014.
Pada 2019 Perindo mengirim Arya Sinulingga sebagai tim sukses untuk pemenangan Jokowi. Hal ini karena kedekatan beliau dengan Erik Thohir yang merupakan ketua tim sukses Jokowi saat itu. Maka ketika Jokowi menang, Arya diangkat menjadi stafsus Erik Thohir.
Hingga Agustus 2019, Arya masih tercatat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Pusat Perindo. Kini selain sebagai stafsus menteri BUMN, Arya adalah komisaris di PT. TELKOM.
Jadi sampai sini bisa dibilang Arya lahir dari rahim partai oportunis Perindo. Karena berasal dari Perindo yang mendukung Anies, Arya Sinulingga sangat akrab dengan Anies, bisa terlihat di foto yang menjadi ilustrasi artikel ini.
Oleh karena itu ketika perseteruan dengan Ahok, banyak kadrun ikut serta membully Ahok dan mendukung Arya. Selain karena sama-sama pendukung Anies, Arya dan Kadrun juga sama-sama pembenci Ahok.
Para pendukung Erick Thohir juga turut serta menyerang Ahok. Lalu siapa yang membela Ahok? Penulis sih simple saja, sebenarnya yang dilakukan Ahok mengungkap kontrak-kontrak janggal di BUMN akan membuat publik tahu bagaimana kondisi BUMN yang adalah milik negara, untuk kepentingan rakyat.
Potensi akan terjadinya korupsi wajib diketahui masyarakat, karena korupsi adalah musuh bersama masyarakat. Sangat aneh ketika Arya bilang kalau yang Ahok bicarakan sudah di bahas Erik Thohir sehingga tidak perlu dibicarakan lagi.
Kalau sudah dibahas kenapa harus heboh saat Ahok mengungkap ke publik? Seluruh publik harus tahu apa yang terjadi dengan perusahaan BUMN, itu perusahaan bukan milik nenek moyang Erik atau Arya sehingga hanya boleh diketahui oleh lingkaran kekuasaan mereka. Milik negara artinya digunakan untuk kepentingan rakyat.
Kalaupun sudah diberitahu ke publik, adalah fakta bahwa Ahok menyampaikan ke publik jauh lebih lugas sehingga banyak yang paham sekaligus kepanasan. Bukan menggunakan bahasa-bahasa politik pencitraan.
Arya seharusnya terimakasih kepada Ahok, komunikasi kepada publik ini yang saat ini jadi kekurangan pemerintahan dan menteri era Jokowi. Masa Erik boleh ngomong soal toilet, tapi Ahok dilarang berbicara kondisi BUMN terkait kontrak-kontrak janggal yang berpotensi jadi lahan korupsi?
Lebih penting mana, toilet atau masalah korupsi?
Begitulah Kura-Kura
S:jaya Wijaya