INDONESIAKININEWS.COM - Masuknya sejumlah nama menteri di Kabinet Indonesia Maju ke dalam bursa calon presiden untuk Pemilu 2024 dinilai be...
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang berlangsung pada 15-21 September 2021 lalu menempatkan nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di posisi tertinggi dengan elektabilitas 18,1 persen dalam kategori pertanyaan capres semi terbuka.
Dalam survei yang sama, juga ada nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (4,8 persen), Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Risma (2,3 persen), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamananan Mahfud MD (1,1 persen), Menteri BUMN Erick Thohir (1 persen).
Selain itu, ada nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (0,3 persen), hingga Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (0,1 persen).
Sementara, Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, konsisten sebagai capres terkuat setidaknya dalam sejumlah survei dalam enam bulan terakhir.
Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi langsung dari para menteri itu soal keinginannya maju di 2024. Pencapresan Prabowo hanya digadang-gadang oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani dan belum menjadi keputusan resmi partai.
Airlangga baru dipromosikan sebagai capres tunggal dari Partai Golkar oleh para pengurus DPP. Sementara, Risma mengaku tak berpikir untuk nyapres karena "enggak punya duit".
Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menyatakan tak semua nama-nama menteri yang kerap meramaikan bursa capres itu baru bisa benar-benar maju di 2024 jika memenuhi setidaknya tiga syarat.
Pertama, menteri itu merupakan ketua umum partai politik; kedua, bagian dari penggalang dana atau fundraiser suatu partai politik; dan ketiga, memiliki popularitas yang lebih tinggi dari partai politik.
"Terkait dengan figur, saya pikir yang potensial jelas Pak Prabowo. Karena memang mempunyai Gerindra, yang juga sebagai parpol di DPR dan bagian dari koalisi pemerintahan. Jadi kalau di lihat dari kalkulasi politik, dibandingkan dengan Sandiaga atau Risma saya pikir Pak Prabowo ada di depan," kata Jati saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (18/10).
Namun demikian, jika ditinjau dari aspek kebijakan, ia menilai Prabowo bakal kalah dari sejumlah menteri yang memiliki kebijakan berdampak langsung pada masyarakat.
"Misal Pak Sandiaga Uno itu menggerakkan sektor pariwisata di tengah pandemi atau Bu Risma yang gencar membagikan bansos. Nah itu bisa dikapitalisasi menjadi alat elektabilitas kedua figur ini," katanya.
Jati menilai tindakan memanfaatkan kebijakan yang nantinya berdampak pada kapasitas personal lazim disebut sebagai politik gentong babi.
"Dalam politik itu lazim dikenal sebagai politik gentong babi. Jadi suatu kesempatan bagi seorang incumbent untuk bisa menyelipkan program personal menjadi program pemerintah," katanya.
Terpisah, Peneliti dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M. Pratama, dikutip dari situs rumahpemilu.org, menyebut politik gentong babi alias pork barrel ini berpotensi memicu jual beli suara.
Mengutip studi Scaffer (2007), karakter utama pork barrel adalah pemanfaatan dana publik untuk disalurkan kepada pihak atau kelompok tertentu dalam bentuk program, hibah, bansos, atau proyek.
ANALISIS
Heroik mencontohkannya dengan peningkatan penyaluran bansos. Ia menyebut itu memang bukan berasal dari kantong pribadi kandidat dan dilakukan melalui cara legal sesuai prosedur keuangan. Namun, pemanfaatannya jelang pesta demokrasi, "secara tidak langsung menempatkan bansos sebagai nilai tukar dengan suara pemilih."
Dalam proses pendistribusiannya, kata dia, seorang petahana dapat melakukan klaim politik dengan maksud kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.
"Seorang pemilih lebih memaknai bansos sebagai hutang atas kebijakan petahana yang harus dibayar dengan cara memberikan suara di hari pemungutan suara. Bahkan terdapat pula sebagian pemilih yang beranggapan ketika petahana terpilih kembali, dirinya akan memperoleh bansos yang jauh lebih besar," tutur dia.
Menurut Heroik, praktek politik gentong babi ini memicu sejumlah dampak serius. Pertama, merusak perilaku pemilih rasional. Pemilih akan lebih mempertimbangkan untung dan rugi dari aspek materi.
"Padahal sejatinya pertimbangan untung dan rugi dari perilaku pemilih rasional lebih mengarah pada aspek rekam jejak, kapabilitas, integritas, kebijakan publik yang dihasilkan semenjak awal menjabat sampai dengan akhir," tutur dia.
Kedua, membuat proses persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. "Dengan adanya pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya," cetusnya.
Jalur Potensial
Terpisah, Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mengatakan, berdasarkan sejarah pemilihan langsung di Indonesia, jalur menteri merupakan salah satu jalur yang mempunyai kesempatan untuk menjadi presiden.
Hal itu pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sempat menjadi Menko Polhukam di pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menang di Pemilu 2004 dan 2009.
"Kita pemilihan langsung baru dua kali menghasilkan presiden, satunya bekas menteri dan satunya bekas gubernur atau kepala daerah. Jadi kalau dari sejarah dua jalur karir ini lah yang punya kesempatan untuk jadi presiden," kata Kunto.
Dia berpendapat sah-sah saja jika para menteri mencari panggung untuk mendorong elektabilitasnya di 2024. Namun begitu, akan ada potensi kinerja pemerintahan terganggu jika para menteri tidak lagi fokus bekerja.
"Publik akhirnya akan menilai kalau si menteri itu bekerja untuk elektabilitas dan akhirnya pekerjaan utama sebagai menteri terbengkalai, ya publik pasti akan menghukum dia pasti. Karena akhirnya akan ketauan," katanya.
Jati menimpali Jokowi tetap perlu mengambil langkah agar para menterinya tetap fokus bekerja jelang Pilpres 2024.
"Monumen politik itu berupa IKN. Itu yang akan membuat para menteri ini fokus ke arah sana. Karena itu menjadi proyek monumental Jokowi yang lintas sektor. Jadi semua menteri itu wajib untuk dukung itu," katanya.
Terlepas dari itu, Kunto menyebut posisi petahana tak melulu memberi dampak positif jika tak dikelola dengan tepat.
"Nyatanya bu Mega gagal mengelolanya. Ketika bu mega maju dan kalah dari Pak SBY. Saya pikir PDIP dan Pak Jokowi sudah punya pengetahuan tentang ini dan pasti mereka akan lebih canggih mengelola politik ini. Apalagi sebentar lagi katanya mau reshuffle," ujar Kunto.
s: cnnindonesia.com