INDONESIAKININEWS.COM - Kabar terbaru datang dari pemerintah terkait utang dari perusahaan Grup Bakrie akibat luapan lumpur lapindo di Sido...
INDONESIAKININEWS.COM - Kabar terbaru datang dari pemerintah terkait utang dari perusahaan Grup Bakrie akibat luapan lumpur lapindo di Sidoarjo beberapa tahun silam.
Pihak perusahaan milik keluarga Bakrie itu pun mengirim surat terkait utang ke Kemenkeu.
Data terakhir total utang yang tercatat oleh pemerintah senilai Rp 1,91 triliun.
Dikabarkan, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mengejar utang anak usaha Lapindo Brantas Inc, PT Minarak Lapindo milik keluarga Bakrie.
Adapun utang tercipta lantaran pemerintah memberikan dana talangan senilai Rp 773,8 miliar untuk melunasi pembelian tanah dan bangunan warga korban luapan lumpur lapindo, Sidoarjo.
Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Rionald Silaban mengatakan,
teranyar pihak perusahaan sudah berkirim surat kepada Kemenkeu membahas utang tersebut.
"Saya mau kasih tau saja prosesnya. Memang yang bersangkutan itu sudah berkirim surat terkait dengan bagaimana mereka melunasi kewajibannya," kata Rio dalam bincang media bersama DJKN Kemenkeu secara virtual, Jumat (16/7/2021).
Rio menuturkan, perusahaan milik keluarga Bakrie itu juga bertanya soal besaran utang yang perlu dibayar dalam suratnya.
Selang beberapa waktu, surat tersebut akhirnya dibalas oleh Kemenkeu.
Rio bilang, pihaknya menentukan besaran utang Minarak Lapindo adalah sebesar yang telah dikeluarkan pemerintah.
Namun, Rio tak menyebut jumlah pasti utang tersebut.
"Soal nilai, kita sudah membalas. Menurut kita nilai yang sudah dibebankan kepada pemerintah itulah yang seyogyanya menjadi tanggung jawab," beber Rio.
Menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2019, pemerintah mencatat total utang Lapindo Brantas
dan Minarak kepada pemerintah sebesar Rp 1,91 triliun hingga 31 Desember 2019.
Secara rinci, besaran utang terdiri dari pokok utang sebesar Rp 773,38 miliar, bunga Rp 163,95 miliar, dan denda Rp 981,42 miliar.
Sementara itu, pembayaran yang baru dilakukan oleh perseroan pada Desember 2018 adalah sebesar Rp 5 miliar.
"Jumlahnya berapa hektar itu aku enggak ingat satu-persatu.
(Tapi) kalau untuk (nominal) itu, kita berpendapat bahwa jumlah yang dikeluarkan pemerintah itulah yang seyogyanya dilunasi kewajibannya kepada pemerintah.
Tentu juga ada hitung-hitungannya," pungkas Rio.
Sebelumnya, Isa Rachmatarwata yang pernah menjabat sebagai Dirjen Kekayaan Negara juga mengupayakan agar Lapindo bisa memenuhi kewajiban pembayaran utang secara tunai.
Namun, dia tidak menutup kemungkinan jika perusahaan menghendaki pembayaran utang melalui aset.
Bila Lapindo memilih untuk membayar utang dengan penyerahan aset,
pemerintah akan melakukan perhitungan valuasi dari aset yang ditawarkan.
Menurut Isa, pihak Lapindo menawarkan aset pada wilayah yang terdampak kebocoran lumpur.
"Itu akan kami lihat, kami valuasi, dan sebagainya, nanti kalau memang nilainya ada,
cukup, enggak ada masalah kami ambil juga.
Kalau tidak mencukupi, menghendaki cara lain," ujar dia beberapa waktu lalu.
s: tribunnews.com