INDONESIAKININEWS.COM - Peneliti terorisme UI Ridlwan Habib menilai ada tiga konsekuensi setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papu...
INDONESIAKININEWS.COM - Peneliti terorisme UI Ridlwan Habib menilai ada tiga konsekuensi setelah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua dinyatakan sebagai organisasi teroris oleh pemerintah, Kamis (29/4/2021) kemarin.
Pertama, kata dia, ujung tombak penanganan adalah Polri dalam hal ini adalah Densus 88.
Selain itu, kata dia, para pelaku dihukum menggunakan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018.
Dalam operasi penegakan hukum terhadap terorisme, kata Ridlwan, Polri bisa meminta bantuan TNI, bahkan pasukan khusus TNI.
"Namun perlu segera ada Perpres TNI mengatasi terorisme sebagai payung hukum dan bisa segera ditandatangani oleh Presiden Jokowi," kata Ridlwan ketika dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (30/4/2021).
Konsekuensi kedua, kata dia, adalah penyebutan secara spesifik kelompok terorisme di Papua berdasarkan pimpinan mereka.
"Jangan sampai salah menyebut sebagai kelompok teroris Papua karena akan membuat marah warga Papua lain yang tidak mendukung. Sebut saja nama kelompoknya misalnya kelompok teroris Lekagak Telenggen , kelompok teroris Goliat Tabuni, kelompok teroris Kely Kwalik, dan seterusnya," kata Ridlwan yang merupakan alumni S2 Intelijen UI tersebut.
Konsekuensi ketiga, kata dia, Densus 88 bisa menangkap siapa saja yang setuju, atau mendukung aksi bersenjata di Papua.
Termasuk, kata dia, mereka yang mendukung di medsos.
"Misalnya Veronika Koman selama ini mendukung KKB di Twitter, bisa ditangkap atas dugaan terorisme sesuai Undang-Undang Nomor 5 tahun 2018," kata Ridlwan.
Penangkapan itu, kata dia, juga bisa dilakukan terhadap aktivis-aktivis pro KKB yang berada di kota-kota di luar Papua.
"Misalnya di Yogya, di Surabaya, kalau ada indikasi kelompok itu mendukung KKB sekarang bisa dihukum dengan Undang-Undang terorisme," kata dia.
Ridlwan mengatakan dengan demikian perlu dipikirkan masifnya penangkapan, termasuk kapasitas penjara yang digunakan nanti.
"Pergantian istilah menimbulkan konsekuensi serius yang harus disiapkan pemerintah," kata Ridlwan.
Percaya Diri
Sementara itu, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative Al Araf menilai labelisasi teroris terhadap Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua sebagai cerminan pendekatan keamanan di Papua.
Labelisasi itu, kata Al Araf, justru semakin membuat rasa tidak percaya masyarakat Papua terhadap pemerintah.
Padahal, kata dia, masalah utama konflik di Papua adalah rendahnya rasa saling percaya antara pemerintah terhadap orang Papua dan orang Papua terhadap pemerintah Indonesia.
Hal yang penting untuk dilakukan, kata dia, seharusnya adalah mendorong rasa saling percaya di antara keduanya untuk menyelesaikan konflik.
Sayangnya, kata Al Araf, rasa tidak percaya itu makin kuat akibat labelilasi teroris tersebut.
"Labelisasi dan stigmatisasi kelompok di Papua cermin dari perspektif pendekatan keamanan di Papua," kata Al Araf ketika dihubungi Tribunnews.com, Jumat (30/4/2021).
Lebih jauh, kata dia, pelabelan teroris tidak menyelesaikan masalah dan bukan solusi dalam menyelesaikan konflik Papua.
Hal itu, kata dia, justru akan memperkeruh dan menambah masalah baru dalam menyelesaikan konflik Papua secara damai.
Dengan stigma dan label teroris tersebut, kata dia, justru akan menyakitkan bagi masyarkat Papua karena stigma tersebut sesungguhnya kurang pas dilakukan oleh pemerintah.
"Pemerintah terlihat bingung dan mencari jalan pintas untuk menyelesaikan papua akhirnya keliru mencari jalan penyelesaiannya dengan memberi label mereka teroris. Padahal hal itu akan justru merumitkan penyelesaian di papua secar damai," kata Al Araf
Pemerintah seharusnya, kata dia, melihat akar konflik di Papua dan mencari pendekatan yang komprehensif untuk menyelesaikannya, bukan sibuk dengan urusan masalah labelisasi.
Dari studi banyak akdemesi, kata Al Araf, akar konflik di papua meliputi faktor ketidakdilan ekonomi, marjinalisasi orang Papua, kekerasan dan pelanggaran HAM yang tidak ada penghukuman bagi pelaku impunitas dan problem historia.
Dari beragamnya konflik di Papua, kata dia, maka seharusnya pemerintah mencari jalan penyelesaian yang inklusif dan komprehensif penyelesaian konflik papua melalui jalan dialog.
Pendekatan keamanan, menurutnya tidak akan menjawab penyelesaian Papua dan pendekatan ekonomi dengan membangun insfrastruktur dan Membangun SDM juga belum cukup untuk menjawab masalah di Papua.
Apalagi, kata dia, labelisasi terorisme juga menjadi masalah baru dalam menyelesaikan konflik Papua.
"Kebijakan penyelesaian konflik di Papua tidak bisa bersifat top down tetapi harus dari konsensus bersama mencari jalan penyelesain konflik Papua sehingga dibutuhkan meja bersama untuk dialog," kata Al Araf.
s: tribunnews.com