INDONESIAKININEWS.COM - Pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) oleh pemerintah tanpa melalui proses pengadilan atau tanpa prinsip due...
INDONESIAKININEWS.COM - Pembubaran organisasi kemasyarakatan (ormas) oleh pemerintah tanpa melalui proses pengadilan atau tanpa prinsip due process of law tak hanya terjadi pada rezim Orde Baru. Era Reformasi sejatinya tidak mengubah praktik yang dapat memengaruhi hak kebebasan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar Negara 1945 maupun instrumen HAM internasional Kovenan Hak Sipil dan Politik.
Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI, Munafrizal Manan, menjelaskan pandangan tersebut dalam diskusi publik daring bertajuk "Kebebasan Berserikat di Negara Demokrasi" yang diselenggarakan oleh Imparsial, Selasa kemarin, 29 Desember 2020.
Menyoroti soal pembubaran atau pelarangan ormas, Munafrizal menegaskan supaya pemerintah tidak membubarkan organisasi hanya berdasarkan asas contrarius actus serta tanpa mekanisme proses peradilan (due process of law).
“Dalam perspektif HAM, sanksi pencabutan status badan hukum suatu organisasi berdasarkan asas contrarius actus sangat jelas tidak dapat dibenarkan karena memberikan keleluasaan dan sewenang-sewenang dalam mematikan suatu organisasi,” ujar Munafrizal seperti dikutip dalam keterangannya resminya, Kamis, 31 Desember 2020.
Menurut Munafrizal, hal tersebut terkait dengan right to freedom of association sebagai negative rights yang bermakna negara dilarang melakukan intervensi yang mereduksi penikmatan atas hak tersebut serta disebut sebagai positive obligation, di mana negara wajib memastikan semua warga negara menikmati hak itu.
“Jaminan hak kebebasan berserikat dan berkumpul merupakan ciri penting bagi suatu negara hukum dan negara demokratis. Kalau tidak memberikan kepastian tentang hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul maka bisa disebut negara tidak sepenuhnya demokratis,” kata Munafrizal.
Munafrizal menambahkan, hak untuk berserikat dan berkumpul merupakan hak yang bersifat individual dan kolektif yang memiliki irisan dengan hak sipil dan hak politik. Hak ini juga saling berkaitan erat dengan hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang diaktualisasikan dengan keleluasaan orang untuk menyampaikan pikiran, ide, aspirasi, dan keyakinan secara kolektif.
Sejatinya, kata Munafrizal, prinsip dasar umum mengenai hak kebebasan berserikat, antara lain setiap orang berhak membentuk atau bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi, tidak boleh ada paksaan bagi seseorang untuk bergabung dengan suatu serikat/organisasi/asosiasi dan tidak boleh ada perlakuan diskriminatif atas seseorang untuk menikmati hak kebebasan berserikat/berorganisasi/berasosiasi.
Menyoal regulasi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul, Munafrizal menjelaskan sesuai Pasal 28E ayat (3) dan Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 24 ayat (1) UU No. 39/1999 tentang HAM, UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, UU No. 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh, UU No. 16/2001 tentang Yayasan, UU No. 28/2004 tentang Perubahan UU No. 16/2001 tentang Yayasan, dan UU No. 16/2017 tentang Penetapan Perppu No. 2/2017 tentang Perubahan atas UU 17/2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Munafrizal juga menyoroti hak kebebasan berserikat dan berkumpul termasuk derogable rights yang dalam keadaan dan situasi tertentu dimungkinkan untuk dilakukan pembatasan dengan pertimbangan-pertimbangan yang spesifik dan secara bersyarat. Hal ini absah sebagaimana dalam ICCPR/KIHSP, UUD Tahun 1945, dan UU HAM.
“Pembatasan tidak boleh dimaksudkan untuk mereduksi hak atas kebebasan berserikat dan berkumpul. Pembatasan itu pertama harus diatur oleh hukum, kemudian ada juga kalimat diperlukan dalam masyarakat demokratis. Jadi keputusan pemerintah membatalkan status badan hukum suatu organisasi, artinya mencabut hak dan kewajiban yang melekat pada subyek hukum, merupakan bentuk penghukuman (konstitutif) yang sebetulnya harus berdasarkan putusan pengadilan,” kata Munafrizal.
Berdasar prinsip due process of law, suatu organisasi yang melanggar hukum pidana, mengganggu ketertiban umum, mengancam keselamatan publik, atau membahayakan keamanan negara dapat dibubarkan melalui proses pidana secara bersamaan terhadap orang-orang yang mewakili organisasi tersebut.
Munafrizal juga berpandangan bahwa UU No 16 tahun 2017 berwatak represif. Dasar menimbangnya adalah melindungi kedaulatan negara, namun cenderung mengebiri kedaulatan rakyat. UU ini dibentuk dengan maksud untuk menerapkan sanksi yang efektif terhadap Ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Kemudian terdapat kecenderungan melakukan asas contrarius actus dengan maksud untuk menjatuhkan sanksi yang efektif dan langsung berlaku serta mengatur sanksi administratif dan sanksi pidana.
“Masyarakat sipil harus melihat dengan berperspektif hak asasi manusia, adanya pengaturan yang justru mereduksi hak kebebasan berserikat tidak boleh diamini. Kita perlu menggaungkan terus menerus agar kita tidak lupa bahwa kita negara hukum dan negara demokratis. Hubungan negara masyarakat, dalam konteks yang ideal demokratis dapat mencapai titik equilibrium dimana tidak boleh ada negara yang lebih kuat dari masyarakat yang dikhawatirkan terjadinya represi. Namun tidak boleh juga masyarakat lebih kuat dari negara karena akan melahirkan vandalism dan anarkisme,” tuturnya.
Untuk diketahui, pembicara lain dalam diskusi publik ini, antara lain yakni anggota Komisi III DPR RI Benny K. Harman, mubaligh JAI Bandung Hafizurrahman Danang P, Peneliti Imparsial Evitarossi Budiawan, perwakilan dari KontraS Danu Pratama.
s: viva.co.id