INDONESIAKININEWS.COM - Disahkannya RUU Cipta Kerja yang banyak ditentang masih menjadi polemik. Setelah disahkan pada Senin 5 Oktober 2020...
INDONESIAKININEWS.COM - Disahkannya RUU Cipta Kerja yang banyak ditentang masih menjadi polemik.
Setelah disahkan pada Senin 5 Oktober 2020 lalu, UU Cipta Kerja ini rencananya akan diserahkan kepada Presiden Joko Widodo har ini.
Hal tersebut disampaikan langsung oleh wakil ketua DPR Aziz Syamsudin.
"Resmi besok Undang-undang Cipta Kerja dikirim ke Presiden, maka resmi UU ini menjadi milik publik," kata Wakil Ketua DPR Aziz Syamsuddin, pada Selasa (13/10/2020) kemarin.
Tak hanya mengatur mengenai ketenagakerjaan yang berkaitan dengan buruh, UU Cipta Kerja juga turut mengatur mengenai sistem penerbitan sertifikasi halal.
Pada peraturan sebelumnya, sertifikat halal hanya dapat dikeluarkan oleh Majelis Umum Indonesia (MUI), namun setelah UU Cipta Kerja disahkan terdapat alternatif lain bagi mereka yang ingin mendapatkan sertifikat halal.
Berdasarkan UU Cipta Kerja, sertifikat halal dapat diberikan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Hal ini pun membuat Anggot Komisi Fatwa MUI Aminudin Yakud angkat bicara.
Menurutnya kebijakan baru mengenai sertifikat halal yang terdapat dalam UU Cipta Kerja dinilai berbahaya sebab mengeluarkan sertifikat halal tidak bisa disamaratakan untuk produk satu dengan produk lainnya.
"Bagaimana BPJH mengeluarkan sertifikat halal, kalau itu bukan fatwa. Ini bisa melanggar syariat, karena tidak tau seluk beluk sertifikasi," kata Aminudin dalam dialog kepada PRO-3 RRI, Rabu (14/10/2020).
"Waktu sertifikasi tidak bisa pukul rata. Karena dalam auditnya, bahan-bahan dari produk itu berbeda. Tentu, kalau bahan yang dipakai ada sertifikasi halal lebih mudah. Tapi kalau tidak kita sarankan untuk mengganti bahan baku," tambahnya.
Diketahui, ada sejumlah perbedaan mengenai ketentuan sertifikasi halal yang tertuang di UU Cipta Kerja dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Dalam Pasal 14 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, dijelaskan mengenai pengangkatan auditor halal oleh Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).
Auditor halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan produk.
Sedangakan, LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujan terhadap kehalalan produk.
Ada sejumlah persyaratan pengangkatan auditor halal oleh LPH, yakni:
(a) Warga negara Indonesia
(b) Beragama Islam
(c) Berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi
(d) Memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam
(e) Mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan
(f) Memperoleh sertifikat dari MUI
Namun, pada UU Cipta Kerja, persyaratan poin (f) ditiadakan. Sehingga, dalam pengangkatan auditor halal hanya berlaku lima persyaratan saja.
Cara memperoleh sertifikat halal
Bab V Pasal 29 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjelaskan mengenai tata cara memperoleh sertifikat halal.
Pada pasal 29 ayat (1) dijelaskan permohonan sertifikat halal diajukan pelaku usaha secara tertulis kepada Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).
Pasal 29 ayat (2) disebutkan, permohonan sertifikat halal harus dilengkapi dengan dokumen data pelaku usaha, nama dan jenis produk, daftar produk dan bahan yang digunakan, dan proses pengolahan produk.
Kemudian, Pasal 29 ayat (3) berisi ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam peraturan menteri.
Tetapi, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan mendapatkan sertifikat halal pada Pasal 29 ayat (3) diubah menjadi jangka waktu verifikasi permohonan sertifikat halal dilaksanakan paling lama 1 hari kerja.
Waktu Penerbitan
Selain itu, pada Pasal 35 UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan sertifikat halal diterbitkan BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI.
Namun, pada UU Cipta Kerja, Pasal 35 diubah menjadi sertifikat halal sebagaimana Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 34A diterbitkan oleh BPJPH paling lama 1 (satu) hari kerja terhitung sejak fatwa kehalalan produk.
Sementara itu, ada pasal yang disisipkan antara Pasal 35 dan Pasal 36, yakni Pasal 35A pada UU Cipta Kerja.
Pasal 35A ayat (1) berbunyi, apabila LPH tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses sertifikasi halal, maka LPH tersebut akan dievaluasi dan/atau dikenai sanksi administrasi.
Selanjutnya, Pasal 35A ayat (2) dijelaskan, apabila MUI tidak dapat memenuhi batas waktu yang telah ditetapkan dalam proses memberikan/menetapkan fatwa, maka BPJPH dapat langsung menerbitkan sertifikat halal.
Sumber : pikiran rakyat