Fahri Hamzah INDONESIAKININEWS.COM - Imbas dari disahkannya UU Cipta Kerja, bisa dilihat, adalah terjadinya kerusuhan dan gelombang demonst...
INDONESIAKININEWS.COM - Imbas dari disahkannya UU Cipta Kerja, bisa dilihat, adalah terjadinya kerusuhan dan gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah.
Terkait hal tersebut, pemerintah menyebut-nyebut bahwa massa aksi tidak bergerak sendiri, melainkan ada aktor atau dalang yang menunggangi.
Hingga kemudian pemerintah, melelaui aparat kepolisian meringkus nama-nama tokoh yang dianggap sebagai dalang kerusuhan. Termasuk penangkapan terhadap beberapa anggota KAMI.
Dan di antara anggota KAMI adalah Jumhur dan Syahganda yang baru saja diseret ke kepolisian pada Jumat (16/10) kemarin.
Jumhur dan Syahganda ditangkap oleh Polda Metro Jaya dengan dugaan, keduanya telah memberikan informasi yang menyesatkan, bertendensi SARA, berisi penghasutan dan ujaran kebencian, serta indikasi adanya rencana perusakan saat melakukan aksi demo tolak UU Cipta Kerja.
Setelah sebelumnya Fadli Zon yang angkat suara, kali ini giliran politikus Fahri Hamzah yang turut mengecam penangkapan para aktivis tersebut.
Melalui akun Instagram pribadinya @fahrihamzah, ia menuntut agar Jumhur dan Syahganda jangan ditangkap. Fahri menyebut bahwa keduanya hanyalah korban rezim yang otoriter.
"Kalau penguasa mau mendengar, Jumhur dan Syahganda jangan ditangkap. Mereka adalah alumni ITB yang idealis. Saya kenal keduanya sudah sejak 30 tahun lalu. Mereka adalah teman berdebat Yang berkwalitas. Mereka dulu korban rezim orba yang otoriter. Kok rezim ini juga mengorbankan mereka?" tulis Fahri.
Terkait penangkatan Jumhur dan Syahganda, Fahri kemudian menyinggung soal teori "crime control" yang sempat ditentangnya dan kini malah menjadi senjata bagi lembaga penegak hukum sebagai pretensi penangkapan siapa saja yang kritis terhadap pemerintah.
"Dulu saya menentang teori “crime control” dalam pemberantasan korupsi yang dianut KPK sebab saya khawatir ini akan jadi mazhab penegakan hukum di negara kita. Saya bersyukur melihat KPK lembali ke jalan hukum tapi sedih dengan ideologi lama itu di praktikkan penegak hukum lain," terangnya.
Fahri menjelaskan, inti dari "crime control" adalah penegakan hukum yang mendorong "tujuan menghalalkan cara" atau "end justifies the means". Penegak hukum menganggap menangkap orang tak bersalah agar tercipta suasana terkendali. Padahal kedamaian serta ketertiban adalah akibat dari keadilan.
Ia juga menyebut, bahwa yang seharusnya ditangkap adalah orang-orang yang terekam dalam CCTV sebagai perusuh. Bukan kritikus yang berjasa bagi demokrasi.
"Kalau kritik mereka dianggap memicu kerusuhan, kenapa tidak tangkap 575 anggota DPR yang bikin UU berbagai versi yang kemudian bikin rusuh?" cecar Fahri.
"Ayolah, mari kembali kepada yang benar bahwa kegaduhan publik ada dasarnya. Kerusuhan dan pengrusakan fasilitas publik adalah kejahatan. Tapi kejahatan dan kritik tidak tersambung. Kriminalitas akarnya adalah niat jahat. Tapi kritik muncul sbg respon atas tata kelola yang gagal," tambahnya.
Bagi Fahri, hukum seharusnya tidak boleh menyasar para pengritik, sementara tidak menyentuh para perusuh dan para pelaku vandalisme. Lebih-lebih sampai menuduh mantan presiden (SBY) sebagai dalan di balik kerusuhan. Sebuah tindakan yang, menurutnya, merupakan tindakan yang sembrono.
"Sungguh suatu tindakan yang sembrono dan tidak punya etika. Mau apa sih kita ini? Mau adu domba siapa lagi? Mau merusak bangsakah kita?" sesalnya.
"Saya hanya bisa doa kepada Pak presiden & pak kyai. Semoga bisa jernih meliha realitas ini. Kita tidak bisa begini," tulis Fahri menutup postingannya.
s: pikiran-rakyat.com