INDONESIAKININEWS.COM - Pemerintah memiliki andil besar dalam meninggalnya 100 dokter di Indonesia akibat Covid-19. Itu sekaligus konsekuen...
Itu sekaligus konsekuensi model penanganan Covid-19 pemerintah yang lemah dalam memprioritaskan aspek kesehatan.
Demikian disampaikan anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori Yusuf dalam keterangannya dilansir JPNN, Senin (31/8/2020).
“Ini perlu menjadi perhatian serius pemerintah supaya di waktu mendatang tidak ada lagi hari berkabung,” kata Bukhori.
Politikus PKS itu juga menyebut bahwa pemerintah tidak memprioritaskan kesehatan dalam penanganan Covid-19.
Kendati demikian, ia mengakui bahwa Pemerintah memang telah menaikkan anggaran penanganan Covid-19 di Indonesia.
Yang semula Rp405,1 triliun menjadi Rp677,2 triliun atau membengkak sebesar 67 persen.
Akan tetapi, kata dia, pemerintah lebih menyoroti sektor korporasi dari anggaran penanganan Covid-19 yang baru.
Sebab, anggaran untuk korporasi sekitar Rp120 triliun atau lebih besar dibanding anggaran bidang kesehatan yang hanya berkisar Rp87 triliun.
Lebih ironis lagi, sambungnya, terhitung sampai bulan Juli 2020, serapan anggaran kesehatan ternyata baru mencapai Rp4,4 triliun atau sekitar lima persen saja.
“Artinya, kegagapan pemerintah dalam menentukan skala prioritas ternyata berakibat fatal, yakni hilangnya nyawa anak bangsa,” kecamnya.
Lebih lanjut, anak buah Sohibul Iman ini meminta agar kematian ratusan dokter ini tidak hanya dimaknai sebagai angka statistik saja.
Bukhori juga meminta pemerintah menyertakan hati nurani dari peristiwa ini.
Karena itu, ia mengusulkan agar Pemerintah secara khusus membuat monumen yang diletakkan di depan Istana.
“Di mana terdapat nama-nama mereka yang dicatat secara terkini untuk dikenang oleh publik, sekaligus wujud penghargaan kepada mereka,” usulnya.
“Selain itu, monumen ini juga bisa berfungsi sebagai peringatan bahwa kematian adalah juru nasihat yang paling jitu,” tandasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum IDI dr. Mohammad Adib Khumaidi menyatakan, pihaknya saat ini tengah berusaha membuat peta terkait apa saja penyebab meninggalnya para dokter itu.
Termasuk, di daerah mana saja paling berisiko bagi garda terdepan dalam penanganan Covid-19 itu.
“Ya 100 (dokter yang meninggal). Tapi kami masih mau coba buat tabling data dulu. Umur berapa, daerah mana, ada faktor komorbid atau tidak. Lakukan pelayanan di mana,” ungkapnya.
Menurutnya, pemetaan ini penting dilakukan agar lebih jelas sehingga risiko kematian dokter bisa ditekan.
“Kami enggak mau IDI seolah terkesan hanya ucapan duka cita doang,” tegasnya.
Adib menyebut, banyaknya kasus baru Covid-19 setiap hari membuat dokter kelelahan.
Padahal saat ini jam kerja dokter sudah dibagi menjadi tiga shift dan tak bisa lagi ditambah beban kerjanya.
“Jam kerja harus proporsional. Kelelahan bisa jadi faktor penyebab, kekurangan APD juga masih masuk di dalamnya,” ungkapnya.
S. Pojoksatu