INDONESIAKININEWS.COM - Punya keluarga yang carut-marut, biasanya bikin orang jadi frustrasi. Alhasil, enggak sedikit anak broken home yan...
Alhasil, enggak sedikit anak broken home yang ujung-ujungnya hidupnya juga hancur-hancuran. Tapi, itu nggak berlaku buat Soeharto!
Yoi, meski bapak dan ibu kandungnya enggak rukun plus terlilit berbagai masalah (terutama masalah ekonomi), Soeharto yang beranjak remaja tetap banyak yang menyayangi serta memperhatikan.
Kalaupun ada yang beda dari sosok Soeharto dibandingkan dengan anak lain yang punya keluarga normal, itu adalah sifatnya yang cenderung pendiam dan tertutup.
Semasa sekolah, Soeharto yang terkenal rajin dan murah senyum ini termasuk lumayan gampang bergaul. Cuma, teman yang benar-benar akrab dengannya hanya sedikit!
Sehari-hari, dia lebih banyak menghabiskan waktunya buat bertani. Soeharto yang sangat mengagumi pakliknya, Prawirohardjo, paling jago menanam bawang bombai dan bawang putih.
Setelah lulus SD, Soeharto meneruskan ke Schakel School, sebuah sekolah menengah pertama di Wonogiri. Karena jaraknya jauh dari rumah buliknya, dia pun harus pindah.
Demi bisa terus sekolah, Soeharto rela menumpang tinggal di rumah kakak Sulardi, sahabatnya, di Selogiri. Soeharto dan Sulardi dapet jatah sekamar berdua.
Cuma, belum lama tinggal di sana, kakak Sulardi cerai dengan suaminya.
Terpaksalah Soeharto mencari tempat "numpang tidur" yang baru!
Oleh bapaknya, Soeharto dititipkan pada sahabatnya, Hardjowijono. Seorang pensiunan yang enggak dikarunia anak, yang tinggal di Wonogiri.
Tahun 1939, Soeharto menamatkan sekolah menengah pertamanya.
Menjelang ujian kelulusannya, gelombang protes bangsa Indonesia terhadap penjajahan pemerintah kolonial Belanda mulai kencang.
Tapi, Soeharto enggak peduli lantaran sedang berkonsentrasi penuh pada ujian kelulusannya.
Setelah tamat, Soeharto memutuskan kembali ke Wuryantoro, tempat buliknya.
Soeharto kembali ke sana karena bapaknya enggak mampu membiayainya melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
Makanya, Soeharto berniat minta tolong dicarikan pekerjaan oleh pakliknya. Dapat! Soeharto kerja sebagai juru tulis di sebuah bank desa.
Seragam kerjanya: blangkon, beskap, dan sarung.
Gara-gara seragam kerjanya inilah Soeharto ketiban apes! Ceritanya, sarung yang dipakenya tiap hari udah lusuh.
Terus, ia dipinjami oleh buliknya sarung kesayangannya. Eh, sarung sarung itu ternyata enggak sengaja nyangkut di jari-jari sepeda yang sedang ia tunggangi.
Dus, peristiwa tadi mengakhiri kariernya sebagai juru tulis bank desa.
Sebab, seorang teman menginformasi bahwa Angkatan Laut Belanda sedang mencari juru masak.
Tapi, ternyata begitu sampai di Solo lowongan yang dimaksud enggak ada.
Dengan kecewa, Soeharto kembali ke Wuryantoro. Dia bekerja serabutan (dari ikut membangun langgar sampai membersihkan selokan air), supaya bisa menyambung hidup.
Enggak lama Soeharto mendengar informasi lowongan kerja lagi! Kali ini lowongan bergabung dengan Angkatan Perang Belanda (KNIL).
Daripada enggak ada pekerjaan tetap, tanggal 1 Juni 1940 Soeharto mantap mendaftar sebagai prajurit.
Soeharto mendapat pelatihan kemiliteran yang superkeras. Tiap hari dari Subuh sampai larut malam, dia enggak henti-hentinya digembleng fisik dan mental.
Toh, Soeharto enggak merasa tertekan. Kehidupan masa kecilnya yang serba enggak pasti justru membuatnya kepincut dengan disiplin keras dan keteraturan yang diajarkan di sana.
Makanya, Soeharto sukses lulus sebagai kadet terbaik di angkatannya!
Selesai pelatihan, Soeharto dikirim ke Batalyon XIII di Rampal, Malang.
S. Tribunnews