INDONESIAKININEWS.COM - Pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah palagan terbuka bagi siapapun warga negara Indonesia yang ingin menjadi pu...
Meskipun tidak “diharamkan” dalam sistem politik Indonesia, dinasti politik dianggap tidak membuat demokrasi sehat. Bahkan, belakangan muncul calon tunggal yang berhadapan kotak kosong dalam pilkada.
Peneliti politik dinasti Yoes C Kenawas mengatakan fenomena pilkada dengan calon tunggal kebanyakan merupakan nondinasti. Data tersebut bisa ditelusuri sejak pilkada serentak dilaksanakan mulai 2015. Porsinya 68 persen berbanding 32 persen.
“Pilkada kemarin (2018) ada 11 kandidat yang dinasti. Di Bone dan Makassar mempunyai hubungan dengan politisi atau pertahana yang sedang menjabat,” ujarnya dalam diskusi daring dengan tema “Pilkada, Antara Dinasti dan Kotak Kosong”, Selasa (4/8/2020).
Di Kota Makasar, pasangan Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi. Munafri merupakan keponakan dari mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Di Bone, Pertahana Andi Fashar M Padjalangi dan Ambo Dalle tanpa lawan.
Keduanya berbeda nasib. Munafri-Dewi tumbang dari kotak kosong. Sedangkan, Fashar-Ambo melenggang untuk melanjutkan jabatan ke periode kedua.
Yoes mengungkapkan keberadaan kotak kosong bukan tanpa arti. Di beberapa wilayah, seperti pilkada Prabumulih dan Makassar, ada gerakan dari sejumlah elit untuk melawan calon tunggal.
“Perlawanan elite oposisi itu penting. Mereka tidak bekerja dalam ruang hampa. Ada elite-elite politik yang kecewa tidak mendapatkan tiket dari partai atau calon independen yang tidak lolos,” tuturnya.
Yoes menjabarkan perlawanan dari para elite biasanya memainkan beberapa isu, seperti pilkada yang tidak demokratis dan arogansi dari calon. Maka, baik petahana maupun calon tunggal dari dinasti atau nondinasti yang baru maju tetap harus melakukan kampanye.
“Calon tunggal masih harus berkeringat untuk memastikan kemenangannya. Artinya, enggak semua calon tunggal bisa leha-leha,” pungkasnya.
S. Sindonews