foto: liputan6 INDONESIAKININEWS.COM - Beredar narasi di sosial media khususnya di WhatsApp Grup (WAG) dengan judul “SKANDAL POLITIK P...
foto: liputan6 |
INDONESIAKININEWS.COM - Beredar narasi di sosial media khususnya di WhatsApp Grup (WAG) dengan judul “SKANDAL POLITIK PILPRES USUT TUNTAS” yang di tuliskan oleh M Riza Fadillah, soal putusan Mahkamah Agung (MA) tanggal 28 Oktober 2019 terkait putusan atas permohonan uji materil Rachmawati cs soal hasil KPU tentang Pilpres 2019, Selasa (7/7/2020).
Meluruskan hal itu, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza Mahendra menegaskan bahwa isi putusan MA dengan No.44-P/HUM/2019 itu telah diplintir semunya oleh si penulis M Riza Fadillah.
Menurut Mantan ketua Tim Kuasa Hukum Jokowi-Maruf ini menegaskan bahwa, putusan MA itu sifatnya hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019.
Yusril kembali menegaskan, Putusan MA itu sama sekali tidak menyinggung pemenang di Pilpres 2019.
“Saya melihat Putusan MA itu No. 44 P/HUM/2019 itu diplintir sesuka hati penulis di atas. Dalam Putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan UU di atasnya atau tidak. Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi dalam Pilpres 2019,” kata Yusril lewat rilisnya kepada Abadikini.com, Selasa (7/7/2020) malam.
Yusril menjelaskan, menang tidaknya Jokowi dalam Pilpres 2019 telah diputuskan oleh MK karena hal itu menjadi kewenangannya.
“MA sama sekali tidak berwenang mengadili sengketa Pilpres. Putusan MK itu final dan mengikat. Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Kiai Ma’ruf, KPU merujuk pada Putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno,” ujar Yusril.
Lagi pula, terang Yusril, putusan uji materil itu diambil oleh MA pada tanggal 28 Oktober 2019, seminggu setelah Jokowi-Kiai Ma’ruf dilantik oleh MPR.
“Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang,” tegas Yusril.
Lanjut Yusril menjelaskan, aturan Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon memang tidak diatur dalam Pasal 416 UU 7/2017 tentang Pemilu.
Menurut ketua umum Partai Bulan Bintang (PBB) ini bahwa, ketentuan Pasal 7 ayat 3 PKPU No 5 Tahun 2019 itu mengaturnya dengan mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A UUD 45 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.
Sehingga terang dia, dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri.
Maka, terang Yusril, patut disadari bahwa Putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan.
“MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 UU Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu. Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan Putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya,” tegasnya.
Yusril menambahkan, putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Karena materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, mala Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 UU No. 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No. 7 Tahun 2007 tentang Pemilu,” jelasnya.
Lanjut Yusril, kalau pasangan calon hanya 2, dan harus diulang-ulang terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka Pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir.
Sementara, terang Yusril, masa jabatan Presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR.
“Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini,” tegas Yusril.
“Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut Hukum Tata Negara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya,” pungkas Yusril.
Sumber: abadikini