INDONESIAKININEWS.COM - Aristawidya Maheswari (15), anak yatim piatu alumni SMPN 92 Jakarta, belum diterima di SMA negeri mana pun hing...
INDONESIAKININEWS.COM - Aristawidya Maheswari (15), anak yatim piatu alumni SMPN 92 Jakarta, belum diterima di SMA negeri mana pun hingga Sabtu (4/7/2020).
Padahal, siswi berprestasi peraih 700 piala itu sudah mengikuti beberapa jalur penerimaan peserta didik baru (PPDB) DKI Jakarta.
Remaja yang tinggal bersama nenek dan kakeknya di Rusun Jatinegara Kaum, Pulogadung, Jakarta Timur, tersebut tak lolos PPDB karena faktor usia.
Arista yang berusia 15 tahun 8 bulan kalah saing dengan calon siswa yang berusia lebih tua.
Berulang kali gagal PPDB
Nenek Arista, Siwi Purwanti (60), sudah mendaftarkan cucunya melalui beberapa jalur PPDB, mulai dari jalur prestasi non-akademik, afirmasi untuk pemegang Kartu Jakarta Pintar (KJP), zonasi, hingga prestasi akademik.
Namun, Arista selalu gagal meraih kursi sekolah negeri melalui jalur-jalur PPDB tersebut.
Saat mengikuti jalur prestasi non-akademik, Arista gagal karena prestasinya diraih saat ia duduk di bangku sekolah dasar (SD).
Padahal, Arista banyak meraih prestasi di bidang seni lukis. Total, ada 700 piala yang telah diraihnya selama mengikuti lomba seni lukis.
Penghargaan yang pernah ia raih, antara lain juara III lomba cipta seni pelajar tingkat nasional dan juara I festival lomba Kementerian Perhubungan.
Lukisan Arista mengenai permainan tradisional anak di Ibu Kota juga pernah dipajang di Galeri Nasional pada Juli tahun lalu.
"Kalau jalur prestasi syaratnya penghargaan yang diraih maksimal berjarak dua tahun saat dia (Arista) mendaftar PPDB. Karena prestasinya pas SD, jadi enggak bisa," kata Siwi saat dikonfirmasi, Sabtu lalu.
Sementara itu, pada jalur afirmasi, Arista tak lolos lantaran faktor usia.
Banyak calon siswa yang diterima berusia lebih tua dibanding Arista.
Siwi kemudian mendaftarkan Arista melalui jalur zonasi. Namun, lagi-lagi Arista gagal karena faktor usia.
"Saya nyoba (mendaftarkan Arista di) enam sekolah, pertama di SMAN 12, 61, dan 21, gagal karena usia. Dicoba lagi ke SMAN 36, 59, dan 53, sama tidak keterima, kalah usia," ungkap Siwi.
Tak patah arang, Siwi terus mengupayakan Arista agar bisa bersekolah di SMA negeri.
Siwi mendaftarkan Arista melalui jalur prestasi akademik. Akan tetapi, upayanya juga gagal karena faktor usia.
Berharap bangku kosong
Satu-satunya harapan Arista saat ini adalah mencari bangku kosong yang masih tersedia melalui jalur tahap akhir.
PPDB tahap akhir akan dibuka apabila sekolah masih memiliki bangku kosong sisa PPDB jalur-jalur sebelumnya.
"Kami masih mau mencoba jalur terakhir, mencari kuota bangku kosong," kata Siwi.
"Di saat akhir, kalau ada sekolah yang sisa kuotanya, bisa daftar lagi, tapi enggak semua sekolah," lanjut dia.
Siwi masih harus mencari sekolah yang menyediakan bangku kosong untuk cucunya.
Arista pun juga harus bersaing dengan banyak calon siswa yang juga mengincar bangku kosong tersebut.
"Misalnya kan ada jatah inklusi dua kuotanya, tapi enggak ada yang daftar, kuota itu untuk jalur tahap akhir, cuma memang enggak semua sekolah yang menyediakan bangku kosong," ucap Siwi.
Tak mampu sekolah di SMA swasta
Siwi dan suaminya yang pensiunan pegawai swasta kini tak memiliki penghasilan.
Oleh sebab itu, mereka tersangkut faktor biaya apabila harus menyekolahkan Arista di sekolah swasta.
"Kesehariannya ya kami dibantu untuk memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, berat biayanya kalau sekolah swasta," ujar Siwi.
Jika Arista benar-benar tak diterima di sekolah negeri mana pun hingga akhir PPDB nanti, satu-satunya pilihan adalah menunggu PPDB tahun depan.
"Kalau enggak masuk sekolah negeri, paling nunggu setahun, karena anaknya enggak mau juga sekolah di swasta," ucap Siwi.
Sumber: tribunnews