foto: kiblat INDONESIAKININEWS.COM - Insiden pembakaran bendera PDIP dalam aksi demonstrasi yang dilakukan oleh massa dari PA 212, FPI...
foto: kiblat |
INDONESIAKININEWS.COM - Insiden pembakaran bendera PDIP dalam aksi demonstrasi yang dilakukan oleh massa dari PA 212, FPI, dan sejumlah ormas Islam di Gedung DPR, pada Rabu (24/6), berbuntut panjang. PDIP memutuskan akan menempuh jalur hukum.
Menanggapi ancaman itu, Ketua GNPF-Ulama Yusuf Martak, yang juga hadir dalam aksi tersebut mengaku heran dengan keputusan PDIP.
Ia menegaskan, setiap warga negara mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya.
"Jalur hukum masalah apa? Setiap warga negara punya hak menyampaikan hak aspirasinya secara konstitusional," kata Yusuf Martak saat dihubungi, Kamis (25/6).
Meski begitu, Yusuf Martak tak menampik jika setiap warga negara juga memiliki hak menempuh jalur hukum jika merasa telah dirugikan.
"Yang tidak boleh apabila hanya mengada-ada membuat kegaduhan di negara ini dan menjadikan aparat dan kekuasaan sebagai alat menjerat masyarakat yang mengkritiknya," tegas Yusuf.
Yusuf Martak memastikan, GNPF-Ulama siap memberikan pendampingan termasuk bantuan hukum jika nantinya massa yang membakar bendera itu dilaporkan ke polisi oleh PDIP.
"Sesuai jawaban di atas, untuk bantuan hukum itu adalah kewajiban dalam kebersamaan masyarakat dalam perjuangan," ucap dia.
PA 212, FPI beserta ormas Islam lainnya telah menggelar aksi demonstrasi menuntut pembatalan Rancangan Undang-undang tentang Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di Gedung DPR.
Namun, aksi demonstrasi itu mendapat kecaman dari PDIP. Sebab, berdasarkan video yang beredar di media sosial, nampak sejumlah massa membakar bendera berlambang banteng itu. Mereka juga berteriak bakar PKI.
Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, mengatakan pihaknya sangat menyesalkan aksi pembakaran itu. Sebab dinilai sebagai aksi provokasi.
Hasto memastikan PDIP akan menempuh jalur hukum terhadap mereka yang sudah membakar bendera partai dalam aksi tersebut. Ia juga meminta kepada kader partai tidak terprovokasi dengan peristiwa itu.
"Jalan hukum inilah yang dilakukan oleh PDI pada tahun 1996, ketika pemerintahan yang otoriter mematikan demokrasi," tutur Hasto.
Sumber: wowkeren