INDONESIAKININEWS.COM - Istana Kepresidenan menolak pesan kejut yang dikirimkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke masyarakat. Me...
INDONESIAKININEWS.COM - Istana Kepresidenan menolak pesan kejut yang dikirimkan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ke masyarakat.
Menurut Istana di masa pandemi virus Corona (COVID-19) ini, rakyat tidak ingin kebijakan berefek kejut.
Kebijakan yang memiliki pesan efek kejut yang dimaksud adalah kebijakan terkait transportasi yang dikeluarkan Anies pada 15 Maret 2020 lalu.
Anies kala itu membatasi transportasi massal seperti TransJakarta, MRT dan LRT.
Akibatnya, pada keesokan harinya antrean luar biasa pada moda transportasi tersebut pun tak terelakkan.
Alih-alih social distancing demi mencegah penyebaran virus Corona, justru kerumunan yang didapatkan akibat pembatasan transportasi publik itu.
Pada rapat teknis percepatan penanganan COVID-19 yang disiarkan di channel YouTube Pemprov DKI Jakarta, Senin (16/3/2020), Anies mengungkap alasannya melakukan pembatasan.
Dia mengatakan ingin memberi 'efek kejut' kepada masyarakat dalam menghadapi virus Corona.
"Tadi pagi kendaraan umum dibatasi secara ekstrem, apa sih tujuannya? Tujuannya, mengirimkan 'pesan kejut' kepada seluruh penduduk Jakarta bahwa kita berhadapan dengan kondisi ekstrem. Jadi, ketika orang antre panjang, 'Oh iya COVID-19 itu bukan fenomena di WA (WhatsApp, red) yang jauh di sana. Ini ada di depan mata kita.' Kalau kita tidak kirim pesan efek kejut ini penduduk di kota ini masih tenang-tenang saja, yang tidak tenang ini siapa yang menyadari ini," kata Anies.
Malam harinya, Anies pun mencabut kebijakannya.
Pencabutan pembatasan transportasi massal itu dilakukan pasca Presiden Joko Widodo (Jokowi) menginstruksikan agar transportasi publik tetap disediakan.
"Sesuai arahan Presiden terkait penyelenggaraan kendaraan umum massal untuk masyarakat, maka kami kembali menyelenggarakan dengan frekuensi tinggi untuk penyelenggaraan kendaraan umum di Jakarta," kata Anies di Balai Kota, Jakarta.
Kebijakan Anies membatasi transportasi publik yang telah dianulir itu pun menuai sindiran dari pihak Istana Kepresidenan.
Jubir Presiden Fadjroel Rachman meminta jangan sampai ada lagi kebijakan 'efek kejut".
Fadjroel mengatakan kebijakan yang ada haruslah rasional. Kebijakan itu juga tak boleh melenceng dari kebijakan Presiden Jokowi.
"Dalam situasi pandemi COVID-19 sekarang, tak boleh ada kebijakan coba-coba yang tak terukur. Publik tak memerlukan kebijakan 'efek kejut', tapi kebijakan rasional dan terukur yang memadukan kepemimpinan organisasi, kepemimpinan operasional, dan kepemimpinan informasi terpusat sebagaimana yang ditunjukkan Presiden Joko Widodo sebagai 'panglima perang' melawan pandemi COVID-19," kata Fadjroel lewat keterangan tertulis, Rabu (18/3/2020).
Fadjroel menambahkan Jokowi saat ini sudah memutuskan kebijakan pembatasan sosial. Kebijakan ini mengimbau masyarakat seminimal mungkin beraktivitas di luar rumah.
"Presiden Joko Widodo memutuskan kebijakan pembatasan sosial (social distancing) berdasarkan UU No: 6/2018 sebagai respons atas kedaruratan kesehatan masyarakat.
Bahwa benar menurut UU tersebut dimungkinkan adanya karantina wilayah (lockdown) tetapi kehati-hatian mempertimbangkan keselamatan dan kehidupan publik tetap menjadi prioritas dalam memutuskan kebijakan publik," ujar Fadjroel.
"Presiden Joko Widodo tidak memilih kebijakan karantina wilayah, tetapi memilih kebijakan pembatasan sosial," imbuhnya.
S: detik