foto Dok Pribadi UAS INDONESIAKININEWS.COM - Pendakwah kondang, Ustad Abdul Somad Batubara atau yang dikenal UAS menyodorkan sejumlah...
foto Dok Pribadi UAS |
INDONESIAKININEWS.COM - Pendakwah kondang, Ustad Abdul Somad Batubara atau yang dikenal UAS menyodorkan sejumlah argumen menceraikan istrinya, Mellya Januarti.
Atas hal itu, Melly membantah dengan mengajukan sejumlah bukti Percakapan WA UAS dengan perempuan Malaysia. Jadi siapa yang jadi penyebab cerai tersebut?
Ketua majelis Abdul Rahim dengan anggota Ermisa Yustri dan Syufyan Nasution memberikan pertimbangan soal siapa yang memicu perceraian.
Dalam putusan Pengadilan Agama (PA) Bangkinang yang dikutip oleh media, hakim memberikan pertimbangan sebagai berikut:
Mengenai siapa yang menyebabkan perselisihan dan pertengkaran dalam rumah tangga Pemohon (UAS) dan Termohon (Mellya), dalam hal ini majelis juga sependapat dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 38 K/AG/1990 tanggal 5 Oktober 1991 yang mengandung abstraksi hukum bahwa tidak perlu lagi mempertimbangkan siapa yang menyebabkan timbulnya perselisihan tersebut, melainkan ditekankan pada keadaan itu sendiri, apakah telah pecah/retak dan sulit dipertahankan.
Dan jika hakim telah yakin pecahnya hati kedua belah pihak yang berperkara yang menyebabkan pecahnya rumah tangga mereka, maka berarti telah terpenuhi maksud Pasal 19 huruf (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 jo. Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.
Majelis hakim perlu mengemukakan ketentuan Hukum Islam di dalam Kitab At-Tolak Fi Syari'atil Islamiyah Wal Qanun halaman 40 yang selanjutnya diambil alih sebagai pendapat majelis, berbunyi sebagai berikut:
Bahwa sebab-sebab dibolehkannya perceraian adalah adanya hajat untuk melepaskan ikatan perkawinan, ketika terjadi pertentangan akhlak dan timbulnya rasa benci di antara suami-istri yang mengakibatkan tidak adanya kesanggupan untuk menegakkan hukum-hukum Allah SWT.
Menimbang, bahwa dari apa yang diuraikan di atas, maka majelis hakim berpendapat pintu perceraian dapat dibuka guna menghindarkan para pihak dari kemelut rumah tangga yang berkepanjangan yang akan membawa mudharat kepada kehidupan Pemohon dan Termohon apabila rumah tangga dipertahankan, sedangkan kemudharatan harus tetap disingkirkan sebagaimana kaidah fiqhiyah yang berbunyi sebagai berikut:
Kemudharatan harus disingkirkan.
Secara sosiologis suatu perkawinan yang di dalamnya sering terjadi perselisihan dan pertengkaran akan sulit untuk mewujudkan rumah tangga bahagia yang penuh rahmah dan kasih sayang seperti yang diharapkan setiap pasangan suami istri, justru sebaliknya mempertahankan perkawinan seperti itu (rumah tangga yang sudah pecah/retak) bisa menimbulkan dan mengakibatkan akibat negatif bagi semua pihak dan kesemuanya itu bisa mendatangkan mudharat, oleh karena itu harus dicari kemaslahatannya (yang terbaik).
Hal ini sesuai pula dengan kaidah fikih yang berbunyi sebagai berikut:
Mengantisipasi dampak negatif harus diprioritaskan daripada mengejar kemaslahatan (yang belum jelas).
Apabila berlawanan antara satu mafsadat dengan mashlahat, maka yang didahulukan adalah mencegah mafsadatnya.
Majelis hakim berpendapat dengan meneruskan rumah tangga yang sudah tidak harmonis hanya akan membuat salah satu pihak atau bahkan kedua belah pihak dalam keadaan teraniaya (dzulm), maka hal tersebut merupakan bukti adanya kemudhoratan dalam rumah tangga Pemohon dan Termohon, maka sudah sepatutnya kemudhoratan tersebut dihilangkan.
Terkait hal tersebut, majelis hakim sependapat dengan pendapat ahli hukum Islam dalam kitab Madza Hurriyat Azzaujaini Fii Athalaq, Juz 1, halaman 83 yang diambil alih oleh majelis hakim sebagai pendapat sendiri:
Islam memilih lembaga talak/perceraian ketika rumah tangga sudah dianggap goncang serta dianggap sudah tidak bermanfaat lagi nasehat perdamaian dan hubungan suami istri menjadi tanpa ruh (hampa) sebab dengan meneruskan perkawinan berarti menghukum salah satu suami isteri dengan penjara yang berkepanjangan.
Hal ini adalah aniaya yang bertentangan dengan semangat keadilan.
Majelis hakim perlu mengambil alih pendapat Dr Musthafa As-Siba'i dalam Kitab Al-Mar'ah bainal Fiqh wal Qanun halaman 100 yang artinya sebagai berikut:
Sesungguhnya kehidupan suami istri tidak akan tegak dengan adanya perpecahan dan pertentangan, selain itu justru akan menimbulkan bahaya yang serius terhadap pendidikan anak-anak dan perkembangan mereka, dan tidak ada kebaikannya mengumpulkan dua orang yang saling membenci.
Dan kadang-kadang apapun sebab-sebab timbulnya ini, baik yang membahayakan atau patut dapat diduga perselisihan membahayakan, sesungguhnya yang lebih baik adalah mengakhiri hubungan Allah SWT menyediakan bagi mereka pasangan lain dalam hidupnya, barangkali dengan pasangan baru itu diperoleh ketenangan dan kedamaian.
Menanggapi putusan cerai itu, kuasa hukum UAS, Hasan Basri, tidak membantah pertimbangan hakim di atas.
"Artinya itulah adanya keputusan sesuai dengan pertimbangan hakim. Fakta dalam pertimbangan ya seperti itu," kata Hasan.
S: detik