Gub sumut edy rahmayadi foto tribunmedan INDONESIAKININEWS.COM - Wisata halal di kawasan Danau Toba yang akan dikonsepkan Gubernur S...
Gub sumut edy rahmayadi foto tribunmedan |
Seorang pria yang bukan bertempat tinggal di kawasan Danau Toba juga mengomentari kebijakan yang telah dilayangkan oleh Edy Rahmayadi.
Dirinya mengaku pernah berkunjungan ke Danau Toba untuk berlibur, tetapi tidak begitu rumit untuk berwisata.
Penolakan itu dilayangkan pria ini melalui media sosial Twitter
Dalam postingannya, seorang netizen bernama Permadi Arya melalui akun Twitternya @permadiaktivis mengkritik pernyataan Pemprov Sumatera Utara tentang wisata halal yang diposting oleh akun Twitter @HumasPemprovsu pada Sabtu 31 Agustus 2019 kemarin.
Dalam postingan di akun @Humas Pemprovsu itu disebut, Pemprov Sumut luruskan informasi wisata halal Danau Toba, wisata halal bukan menghilangkan budaya yang ada namun menyediakan fasilitas pendukung yang diperlukan bagi wisatawan muslim.
Postingan ini direspons Permadi Arya yang akrab disapa Abu Janda.
"Kalian @HumasPemprovsu. tidak usah mengada2. saya muslim, liburan 5 hari di Parapat, Toba, Samosir tak susah cari makanan halal tiap pengkolan ada, sholat pun tak susah, mau sholat tinggal numpang sholat, pemilik resto dengan senang hati persilahkan. Toba tidak butuh wisata halal," pesan dalam akun Twitternya.
Sebelumnya, anggota DPR terpilih dari Dapil Sumut II, Sihar Sitorus menilai wacana wisata halal di Danau Toba yang dilontarkan Edy Rahmayadi tidak menghargai apa yang sudah membudaya dalam masyarakat setempat, terutama ketika menyangkut mengenai penataan ternak dan pemotongan babi.
Perhatian tersebut juga datang dari Sihar Sitorus, Legislatif DPR RI terpilih dari Partai PDI-Perjuangan, Dapil II Sumatera Utara.
Menurut Sihar Sitorus gagasan Edy tersebut malah mengadakan dikotomi atau pemisahan dalam masyarakat dan melanggar konsep Bhinneka Tunggal Ika.
“Wisata halal yang dicanangkan oleh Pemerintah menciptakan pemisahan/segregasi antar umat beragama bahkan suku bangsa.
Bukankah Indonesia terdiri dari berbagai macam suku dan agama namun tetap satu di dalam Indonesia sebagaimana konsep Bhinneka Tunggal Ika yang ditetapkan oleh para pendahulu negeri ini.
Jika hal ini diterapkan tentu akan menciptakan diskriminasi antar satu kelompok dengan kelompok yang lain,” ujar Sihar Sitorus, Sabtu (31/08/2019).
Menurut Sihar Sitorus, Danau Toba sudah memiliki ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh tempat lain.
Konsep halal dan haram yang bertujuan untuk menarik wisatawan mancanegara yang diprediksi Edy berasal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei menurut Sihar Sitorus malah mengganggu apa yang sudah ada dalam masyarakat setempat.
“Memang pengembangan wisata Danau Toba diharapkan dapat menarik wisatawan dari luar negeri untuk datang.
Namun perlu diperhatikan juga agar hal tersebut jangan mengganggu adat istiadat masyarakat lokal yang menganggap pemotongan hewan adalah halal menurut mereka.
Tradisi lokal, budaya setempat memiliki nilai kearifan yang tinggi,” ujar Sihar Sitorus.
Sihar juga mengingatkan bahwa mayoritas penduduk di sekitar Danau Toba adalah mereka yang bersuku Batak dan beragama Kristen, di mana babi bukanlah hewan yang dilarang.
“Perlu diingat bahwa mayoritas penduduk setempat adalah Suku Batak dan beragama Kristen dimana hewan seperti babi adalah makanan yang sah untuk dikonsumsi.
Mengapa pemerintah begitu sibuk mengurusi kedatangan wisatawan tanpa memikirkan apa yang telah menjadi kearifan lokal bagi masyarakat setempat?” ujarnya.
Menurut Sihar sebenarnya konsep halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Konsep ini menurut Sihar malah membunuh apa yang sudah menjadi kearifan lokal Danau Toba.
“Apalagi istilah halal dan haram tidak pernah diatur dalam UUD 1945. Kebijakan ini tentunya bukan sedang memperjuangkan affirmative actions, atau kebijakan yang diambil bertujuan agar kelompok/golongan tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Kebijakan ini malah terkesan membunuh apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat dan tentu saja menghilangkan kemandirian masyarakat dalam menentukan pilihan,” jelas politisi PDI-Perjuangan itu.
sumber: tribunnews.com