habib rizieq ahok. ©2017 Merdeka.com INDONESIAKININEWS.COM - Semenjak panggung politik kita ribut-ribut rekonsiliasi, sebuah isu muncu...
habib rizieq ahok. ©2017 Merdeka.com |
INDONESIAKININEWS.COM - Semenjak panggung politik kita ribut-ribut rekonsiliasi, sebuah isu muncul ke permukaan. Isu ini berbicara tentang seorang tokoh kontroversial. Meski kontroversial, Beliau dianggap sebagai kartu truf rekonsiliasi Jokowi-Prabowo. Menurut para pengamat, jika koar-koar terkait Beliau tidak diperhatikan, rekonsiliasi tidak akan pernah terjadi.
Ternyata, prediksi para pengamat salah. Rekonsiliasi justru terjadi secara mendadak 13 Juli kemarin. Pada kesempatan tersebut, tidak ada sama sekali pembicaraan soal tokoh satu ini.
Siapakah tokoh ini? Tak lain dan tak bukan adalah the controversial Habib Rizieq Shihab. Beliau sudah mengasingkan diri ke Mekkah, Arab Saudi sejak tahun 2017. Jadi, Beliau sudah overstay di Kerajaan Arab Saudi sejak pertengahan 2018 (kabar24.bisnis.com, 2019). Sehingga, koar-koar itu terkait dengan kepulangan Beliau ke Indonesia.
Kira-kira, salahkah bila Habib Rizieq pulang? Menurut hemat penulis tidak salah. Tetapi, Beliau harus memenuhi tiga syarat. Jika tidak, kepulangan Beliau hanya menambah kacau saja negeri kita.
Pertama, Beliau harus mengurus dulu denda overstay di Arab Saudi. Denda itu harus Beliau bayar dari kantong sendiri atau dari kantong FPI sebagai badan hukum. Mengapa? Pada tahun 2017, Beliau minggat dari negeri ini atas keputusan Beliau sendiri. Pergi juga dengan biaya sendiri. Sehingga, hal yang sama harus berlaku ketika Beliau pulang dari Arab Saudi.
Lebih lagi, denda overstay sebesar 110 juta rupiah juga bukan jumlah yang besar bagi Beliau. Bayangkan saja, Beliau sanggup mempunyai hidup yang cukup baik di Arab Saudi. Bukan hanya untuk Beliau sendiri, juga untuk keluarga intinya. Bahkan, Dubes Arab Saudi untuk Indonesia juga menyatakan bahwa, "Dia secara pribadi orang yang mampu secara finansial," (Afifiyah dalam tagar.id, 2018).
Harta Beliau di negeri ini juga memperkuat argumentasi di atas. Beliau memiliki tiga SUV mewah. Semuanya memiliki pelat nomor khusus. Mulai dari 'B 1 FPI' sampai 'B 8 FPI'. Jelas tidak murah untuk mendapatkan pelat nomor seperti itu (makassar.tribunnews.com, 2017).
Lagipula, jika Beliau enggan membayar gharamah sendiri, para anggota dan simpatisan FPI pasti mampu mengumpulkan iuran (cnnindonesia.com, 2019). Pembiayaan seperti ini jauh lebih pantas. Mengapa?
Bukan tugas pemerintah untuk membayarkan kepulangan warga negara yang mengasingkan diri voluntarily. Kalau ini terjadi, sama saja pemerintah tunduk terhadap tuntutan sebuah organisasi masyarakat (ormas). Masa pemerintah tunduk pada satu ormas tertentu? It must never happen.
Kedua, Beliau harus secara gentleman berhadapan dengan hukum. Tirulah contoh dari Basuki Tjahaja Purnama. Ketika Bareskrim Polri menetapkan Ahok sebagai tersangka penistaan agama, Beliau tidak kabur atau bersembunyi. Justru, Beliau secara terang-terangan menyatakan kesiapannya untuk mengikuti semua proses hukum. Akhirnya, proses tersebut menjebloskan Beliau ke penjara.
Semestinya, Beliau meniru contoh ini. Apalagi Beliau dianggap sebagai tokoh besar oleh segenap simpatisannya. Ketika tiba di Indonesia, segera ikuti proses hukum yang menahun tertunda. Mulai dari kasus pornografi dengan Firza Husein, ujaran kebencian 'campur racun', sampai penistaan ideologi negara 'Pancasila Sukarno ketuhanan di pantat'.
Tidak melakukan hal ini sama saja dengan sikap seorang pengecut. Beliau sendiri yang mengawali kasus-kasus tersebut. Waktu yang tepat untuk segera memulai penyelesaiannya adalah ketika Beliau kembali ke negeri ini. Jangan sampai Beliau lolos dari jerat hukum. No one must be immune to the rule of law.
Ketiga, Beliau harus berubah menjadi the new, reformed Habib Rizieq. Lagi-lagi, Beliau bisa meniru contoh seorang Basuki Tjahaja Purnama. Ahok yang dulu adalah sosok yang tegas, jujur, namun temperamental. Setelah dua tahun dipenjara, Beliau bermetamorfosis menjadi seorang BTP. Sosok yang jujur, tegas, dan lebih mampu mengendalikan diri.
Begitupun dengan Habib Rizieq. Beliau harus berubah menjadi sosok yang lebih baik. Berubah menjadi seorang ulama penyebar Islam yang rahmatan lil' alamin. Sebagai tokoh masyarakat, Beliau harus menghentikan tindakan-tindakan yang menghasut banyak elemen masyarakat. Sebarkanlah rekonsiliasi dan perdamaian instead of hate and war-mongering.
Jika Beliau mau berubah dan ikut upaya rekonsiliasi, bagus. Beliau tidak salah untuk kembali. Tetapi, hal ini tidak boleh disertai dengan perjanjian tukar guling. Apa maksud perjanjian tukar guling?
Artinya, Beliau mau berubah asalkan proses hukum dihentikan. Ini adalah kompromi yang sangat tidak bisa diterima. Mau bermetamorfosis seperti apapun, proses hukum harus terus berjalan. Justru, perubahan diri ini diperlukan agar Beliau mau menghadapi proses hukum sebagai warga negara Indonesia.
Jangan jadikan proses hukum sebagai komoditas tukar guling. Itu sama saja melanggar konstitusi. The rule of law must prevail.
Kesimpulannya, Habib Rizieq tidak salah untuk pulang ke Indonesia. Tetapi, Beliau harus memenuhi ketiga syarat penting tersebut. Tanpanya, Beliau tidak layak untuk pulang ke Indonesia.
Menyadur sebagian lirik dari Manusia Setengah Dewa, "Urus saja dendamu. Urus saja kasusmu. Pribadi yang baru yang kami mau."
sumber: kompasiana.co | penulis: Rionanda Dhamma