(Instagram @basukibtp) INDONESIAKININEWS.COM - Emas akan tetap emas sekalipun dibenamkan dalam lumpur. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnam...
(Instagram @basukibtp) |
INDONESIAKININEWS.COM - Emas akan tetap emas sekalipun dibenamkan dalam lumpur. Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama, yang kini ingin dinamai BTP saja, belum lama ini (22/7/2019) menerima penghargaan Roosseno Award, sebuah penghargaan untuk peneliti dan tokoh Indonesia yang memberi inspirasi atas karya, kegiatan, dan semangat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, atau sosial humaniora.
Penganugerahan Roosseno Award ini telah dimulai sejak tahun 2011. Tokoh-tokoh yang pernah menerima Roosseno Award antara lain: B.J. Habibie, Franz Magnis Suseno, dll.
Sejak menjadi gubernur DKI Jakarta, BTP telah menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Sepak terjangnya yang tidak pernah terbayangkan telah membuat dirinya dihormati sekaligus dibenci banyak pihak.
Selama menjabat dia tidak pernah akur dengan mitra kerjanya, DPRD DKI. Kedua belah pihak sering "tidak sepakat" soal APBD.
Ahok sepertinya mencermati lebih dahulu draf ABPD sebelum disetujui. Dan mantan bupati Belitung Timur ini tidak segan mencoret mata anggaran dan alokasi dana yang dirasa tidak wajar atau tidak perlu.
Berkat ketegasan dan kejeliannya dalam menelisik kata demi kata yang tertera dalam draf APBD, Ahok berhasil mencegah lolosnya dana yang besarnya sekitar Rp 11 triliun. Dia menyebutnya sebagai "dana siluman" karena tidak jelas juntrungannya. Selain jeli dan tegas, ternyata BTP juga jenaka.
Demi membaca mata anggaran yang judulnya: DANA UNTUK MENYOSIALISASIKAN SK GUBERNUR, Ahok mungkin tertawa terpingkal-pingkal, lalu menuliskan di draf itu: Pemahaman Nenek Lu! Hahahahai... Entahlah apa yang perlu disosialisasikan oleh para wakil rakyat itu di sini, dan besar anggaran pun miliaran rupiah.
Gebrakan BTP dalam rangka menyelamatkan uang rakyat dari kemungkinan bancakan oleh para oknum, dan sekaligus menghemat penggunaan APBD, agaknya berpengaruh juga terhadap oknum-oknum yang selama ini tidak pernah mengalami hambatan dalam urusan APBD.
Mungkin gara-gara inilah relasi antara BTP dengan sejumlah oknum politikus Kebun Sirih tidak pernah akur. Mereka pasti lebih dongkol karena BTP menerapkan sistem E-budgeting dalam penganggaran untuk mencegah munculnya dana siluman.
Dan bagi oknum-oknum yang biasa bermain-main dengan dana rakyat, kebijakan baru BTP ini jelas menyakitkan, bagaikan diiris sembilu, kata sastrawan. Sampai di sini, BTP sangat layak menyandang gelar, atau dikenang sebagai "pemberantas korupsi".
Salah satu langkah BTP yang tergolong sangat spektakuler dan berani adalah mengembalikan kawasan Tanah Abang sesuai peruntukannya.
Jalan raya di sekitar Stasion KA Tanah Abang itu dibikin tentu untuk angkutan umum, tetapi entah sejak kapan jalan-jalan raya itu sudah menjadi pasar, tempat ribuan pedagan kaki lima (PKL) menggelar dagangan atau lapak-lapak.
Gubernur DKI silih berganti datang dan pergi, jalan di Tanah Abang tetap dikuasai PKL. Barulah ketika Jokowi - Ahok datang, kawasan itu dikembalikan ke peruntukannya.
Di sini terasa sekali wibawa pemerintah dan aparatnya dalam mengatasi para preman. Tapi sayang seribu kali sayang, DKI kembali lagi ke titik nol, setelah era Ahok - Djarot berakhir.
Sosok dan karya BTP memang sulit untuk dilupakan begitu saja, terlebih karena "penerus"nya sangat jauh dari ekpektasi publik. Penganugerahan Roosseno Award untuk BTP belum lama ini telah banyak berbicara tentang hal ini.
Semoga pemberian penghargaan yang sebenarnya "tidak lazim" ini bisa merawat memori warga DKI secara khusus, bahwa Ibu Kota pernah dibawa ke track yang benar.
Disebut "tidak lazim", karena Roosseno Award selama ini diberikan hanya kepada tokoh yang juga bergelar profesor doktor. BTP sendiri baru S-2.
Penataan kawasan, seperti Kalijodo, bisa jadi menjadi salah satu faktor penting di balik penganugerahan award ini. Ini pun termasuk karya yang sangat luar biasa, yang tidak dibayangkan sebelumnya. Kalijodo yang berada di antara Jakarta Utara dan Jakarta Barat, sejak lama kondang sebagai daerah lokalisasi dan perjudian.
Tempat maksiat, kata orang-orang beriman. Heran juga, sudah tahu tempat maksiat, kenapa dibiarkan sampai bertahun-tahun? Ke mana gerangan pasukan ormas yang selama ini suka menepuk dada sebagai penghancur segala kemaksiatan? Kok sarang kemaksiatan bisa eksis puluhan tahun di tengah-tengah permukiman warga?
Sebenarnya bukan tidak ada upaya dari pihak-pihak terkait untuk melenyapkan kawasan maksiat ini, namun selalu terbentur oleh kuatnya backing dari oknum-oknum aparat dan juga preman.
Tapi aneh bin ajaib, seorang BTP bisa saja menggulung areal maksiat ini, dan menyulapnya menjadi tempat yang nyaman untuk semua warga. Kawasan yang dulu kumuh ini, setelah dibebaskan dari segala permaksiatan, dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) tempat berinteraksi para warga. Di sana juga dibikin arena skateboard.
Sepeninggal Gubernur Djarot, yang menggantikan Ahok, RTH Kalijodo ini dikabarkan terbengkalai, namun akhir-akhir ini katanya sudah dibenahi lagi oleh Pemkot DKI sehingga kembali ke peruntukannya: ruang interaksi yang sehat dan nyaman bagi masyarakat. Atas sukses dan kerja keras BTP dalam mengubah kawasan ini, warga layak mengapresiasi BTP dengan gelar: Sang Pemberantas Maksiat!
Salah satu langkah BTP yang tergolong sangat spektakuler dan berani adalah mengembalikan kawasan Tanah Abang sesuai peruntukannya.
Jalan raya di sekitar Stasion KA Tanah Abang itu dibikin tentu untuk angkutan umum, tetapi entah sejak kapan jalan-jalan raya itu sudah menjadi pasar, tempat ribuan pedagan kaki lima (PKL) menggelar dagangan atau lapak-lapak.
Gubernur DKI silih berganti datang dan pergi, jalan di Tanah Abang tetap dikuasai PKL. Barulah ketika Jokowi - Ahok datang, kawasan itu dikembalikan ke peruntukannya.
Di sini terasa sekali wibawa pemerintah dan aparatnya dalam mengatasi para preman. Tapi sayang seribu kali sayang, DKI kembali lagi ke titik nol, setelah era Ahok - Djarot berakhir.
Sosok dan karya BTP memang sulit untuk dilupakan begitu saja, terlebih karena "penerus"nya sangat jauh dari ekpektasi publik. Penganugerahan Roosseno Award untuk BTP belum lama ini telah banyak berbicara tentang hal ini.
Semoga pemberian penghargaan yang sebenarnya "tidak lazim" ini bisa merawat memori warga DKI secara khusus, bahwa Ibu Kota pernah dibawa ke track yang benar.
Disebut "tidak lazim", karena Roosseno Award selama ini diberikan hanya kepada tokoh yang juga bergelar profesor doktor. BTP sendiri baru S-2.
Penataan kawasan, seperti Kalijodo, bisa jadi menjadi salah satu faktor penting di balik penganugerahan award ini. Ini pun termasuk karya yang sangat luar biasa, yang tidak dibayangkan sebelumnya. Kalijodo yang berada di antara Jakarta Utara dan Jakarta Barat, sejak lama kondang sebagai daerah lokalisasi dan perjudian.
Tempat maksiat, kata orang-orang beriman. Heran juga, sudah tahu tempat maksiat, kenapa dibiarkan sampai bertahun-tahun? Ke mana gerangan pasukan ormas yang selama ini suka menepuk dada sebagai penghancur segala kemaksiatan? Kok sarang kemaksiatan bisa eksis puluhan tahun di tengah-tengah permukiman warga?
Sebenarnya bukan tidak ada upaya dari pihak-pihak terkait untuk melenyapkan kawasan maksiat ini, namun selalu terbentur oleh kuatnya backing dari oknum-oknum aparat dan juga preman.
Tapi aneh bin ajaib, seorang BTP bisa saja menggulung areal maksiat ini, dan menyulapnya menjadi tempat yang nyaman untuk semua warga. Kawasan yang dulu kumuh ini, setelah dibebaskan dari segala permaksiatan, dijadikan ruang terbuka hijau (RTH) tempat berinteraksi para warga. Di sana juga dibikin arena skateboard.
Sepeninggal Gubernur Djarot, yang menggantikan Ahok, RTH Kalijodo ini dikabarkan terbengkalai, namun akhir-akhir ini katanya sudah dibenahi lagi oleh Pemkot DKI sehingga kembali ke peruntukannya: ruang interaksi yang sehat dan nyaman bagi masyarakat. Atas sukses dan kerja keras BTP dalam mengubah kawasan ini, warga layak mengapresiasi BTP dengan gelar: Sang Pemberantas Maksiat!
sumber: kompasiana.com | penulis: Hans Panjaitan