(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO) INDONESIAKININEWS.COM - Pemerintah kurang fokus dalam mengurus ekonomi negeri ini. Pemerintah dinilai ab...
(KOMPAS.com/KRISTIAN ERDIANTO) |
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mencatat ada empat kabar buruk perekonomian selama bulan ini.
Di antaranya, utang yang meningkat drastis menjadi Rp 4.528,45 triliun, pertumbuhan ekonomi 2019 yang berada di bawah perkiraan pemerintah dan Bank Indonesia (BI), nilai tukar rupiah yang melempem terhadap dolar AS, dan defisit neraca perdagangan yang memecahkan rekor sejarah.
Fadli menilai perhatian pemerintah telah melenceng ke mana-mana. Wacana pemindahan ibukota adalah contohnya.
“Bagaimana bisa pemerintah berpikir akan memindahkan ibukota di tengah kondisi ekonomi yang tidak perform semacam itu?” tanyanya dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu (18/5).
Dia memprediksi defisit neraca perdagangan, pertumbuhan ekonomi yang di bawah target, serta defisit APBN akan terus membesar. Ini sekaligus menunjukkan buruknya kinerja ekonomi Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo.
“Tingginya impor non-migas, yang sekitar 90 persennya merupakan impor bahan baku dan barang modal, ternyata tak sebanding dengan pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan.
Artinya, impor tidak mendongkrak pertumbuhan ekonomi. Buktinya, sesudah lima tahun pertumbuhan ekonomi kita di bawah Jokowi terus stagnan di angka 5 persen,” sambungnya.
Kegagalan pemerintah mendongkrak perekonomian ini, lanjutnya, kian menggenapi kegagalan Jokowi dalam menjaga demokrasi dan kebebasan sipil.
Perlu diingat bahwa ancaman kebebasan sipil yang muncul di masa Jokowi telah membuat Indonesia turun status dari negara 'bebas' (free) menjadi negara 'bebas sebagian' (partly free). Itu tercatat dalam laporan Freedom House.
“Tak heran, peringkat demokrasi kita terjun bebas 20 peringkat dari sebelumnya ada di posisi 48 pada 2016 menjadi 68 pada 2018 silam menurut data The Economist Intelligence (EIU),” sambungnya.
Ditambah dengan kecurangan Pemilu 2019 yang demikian massif, adanya korban jiwa pesta demokrasi yang jumlahnya sudah lebih dari 600 orang, yang kini telah mendapatkan perhatian dunia internasional, peringkat demokrasi Indonesia tahun ini mungkin akan makin memburuk.
“Sesudah dua puluh tahun reformasi, kini kita sedang berada di titik balik otoritarianisme,” kata wakil ketua umum Partai Gerindra itu.
“Jadi, jika demokrasi gagal ditegakkan, hukum gagal diangkat, dan kini ekonomi juga kian amburadul, maka rezim ini memang pantas disebut rezim gagal,” pungkasnya.
Sumber : Rmol.id