Ngasiran INDONESIAKININEWS.COM - Di Bumi Reog ada sebuah Kampung Buddha di Dusun Sodong, Desa Gelangkulon, Kecamatan Sampung. Umat Budd...
Ngasiran |
Dinamakan Kampung Buddha karena banyak Umat Buddha yang tinggal di kampung tersebut. Dari 482 penduduk yang tinggal, 143 di antaranya memeluk kepercayaan yang diajarkan Sidharta Gautama. Menariknya, perbedaan keyakinan membuat masyarakat di kampung tersebut memiliki rasa toleransi tinggi.
"Untuk tahun ini sama seperti tahun kemarin. Kami menunda anjangsana (silaturahmi,red). Kami tunda sampai Hari Raya Idul Fitri," tutur Penyuluh Agama Buddha Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur sekaligus Ketua Vihara Dharma Dwipa, Suwandi Cittapanno (45), Minggu (19/5/2019).
Alasan penundaan, lanjut Suwandi, yakni untuk menghormati Umat Muslim yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Sebab, saat anjangsana biasanya pihak tuan rumah menghidangkan aneka makanan. Pihaknya merasa tidak nyaman jika harus bertamu namun tuan rumah sedang berpuasa.
"Namanya di desa, misalnya saya datang ke si A yang pemeluk Buddha, tapi saya nggak anjangsana ke si B yang beragama Islam. Kan nggak enak. Jadi mending nunggu Lebaran sekalian, jadi bisa merayakan bersama-sama," imbuhnya.
Di dalam Vihara Dharma Dwipa tampak Buddha Rupang lengkap dengan persiapan peringatan Hari Raya Waisak. Pesan Waisak yang diambil dalam perayaan tahun ini yakni mencintai kehidupan berbudaya penjaga persatuan.
"Kami mengedepankan kerukunan antar umat beragama, toleransi dalam menjalankan ibadah pun kami utamakan," ujarnya.
Kerukunan telah dijaga masyarakat desa sejak tahun 1950 saat pertama kali Agama Buddha masuk ke Dusun Sodong. Bahkan pembangunan vihara juga dilakukan secara swadaya oleh masyarakat setempat di tahun 1969.
"Kami ingin terus menjaga kerukunan. Jangan sampai ada orang yang merusak kerukunan antar umat kami," tamabahnya.
Dalam perayaan Waisak, ada ritual detik-detik Waisak yang jatuh pada Minggu (19/5) tepat pukul 04.11 WIB.
Ritual meliputi perenungan, pembacaan pesan-pesan Waisak hingga meditasi selama satu jam. Berlanjut dengan sungkeman kepada sesepuh dan kedua orang tua. Terakhir dilanjutkan dengan pelepasan satwa, ikan.
Maknanya semua makhluk hidup supaya hidup bebas bisa hidup sesuai dengan alamnya tanpa adanya kekangan. Pihaknya ingin menunjukkan cinta kasih tanpa membeda-bedakan makhluk hidup sesuai dengan intisari ajaran Buddha.
"Ini bentuk cinta kasih kepada universal," katanya.
Suwandi juga menyampaikan, sembahyang yang dilakukan Umat Buddha bukanlah menyembah patung. Melainkan sebagai simbol atau media untuk pemusatan pikiran dan perenungan.
"Kadang banyak yang salah kaprah, jadi di sini kami luruskan patung sebagai simbol atau media untuk beribadah bukan menyembah patung," paparnya.
Terakhir, Suwandi mengaku kagum dengan sosok Gus Dur. Sebab Gus Dur merupakan seorang bapak nasional yang memiliki wawasan kebersamaan.
Padahal Gus Dur merupakan ulama besar namun tidak mementingkan kelompoknya saja. Semua masyarakat diberi hak yang sama. Sehingga pihaknya yang mengaku minoritas ini memiliki hak yang sama sekaligus diberi jaminan keamanan dalam merayakan hari-hari besar.
"Kita menganggap Gus Dur merupakan tokoh besar yang berjasa bagi kita umat terutama kami yang minoritas," pungkasnya.
Sumber : Detik.Com