IndonesiaKiniNews.com - Presiden Joko Widodo selain mewacanakan tema revolusi mental, dalam hal penggunaan anggaran ia juga sering menggemb...
IndonesiaKiniNews.com - Presiden Joko Widodo selain mewacanakan tema revolusi mental, dalam hal penggunaan anggaran ia juga sering menggembar-gemborkan istilah money follow program
Namun sayang, dalam perjalanannya istilah yang digaungkan Jokowi tinggal jargon semata.
Center for Budget Analysis (CBA) melihat bukannya money follow program yang berjalan melainkan APBN digunakan untuk meningkatkan citra Jokowi dan menguras keuangan negara.
Koordinator Investigasi CBA, Jajang Nurjaman memaparkan, pertama, dalam dua tahun terakhir 2017 dan 2018 Pemerintah Jokowi menjalankan program mirip Bantuan Langsung Tunai (BLT) di era SBY, yakni bagi-bagi sembako yang menghabiskan anggaran sebesar Rp 21,2 miliar.
Padahal sebelumnya Jokowi sempat menyindir program tersebut tidak mendidik.
"Namun apa lacur mendekati tahun politik Joko Widodo seperti menelan ludahnya sendiri dengan program bagi-bagi sembako," ujarnya.
Kedua, lanjut Jajang, menjelang lebaran. Jokowi mengeluarkan PP No 20 tahun 2018 tentang tunjangan hari raya yang diperuntukkan bagi pimpinan dan pegawai nonpegawai negeri sipil lembaga nonstruktural.
Tidak tanggung-tanggung anggaran yang digelontorkan Jokowi sebesar Rp 35,7 triliun naik 68,9 persen dibandingkan THR tahun sebelumnya.
Sebagai catatan, THR yang dibagikan Jokowi dalam porsinya hanya dinikmati pimpinan, Misalnya pimpinan lembaga nonstruktrural (LNS) bisa memperoleh THR sampai Rp 24,980 juta, sedangkan untuk pegawainya hanya memperoleh Rp 3,401 juta.
Tidak berhenti sampai sini, kata Jajang, Jokowi melalui Menteri Keuangan, Sri Mulyani juga akan memberikan THR sebesar Rp 440 miliar untuk pegawai honorer di tingkat kementerian pemerintahan pusat.
"Sedangkan honorer di tingkat pemerintah daerah yang betul-betul mengabdi kepada negara selama ini hanya gigit jari," imbuh Jajang.
Dalam program THR ini, menurut CBA selain akan menguras keuangan negara, realisasinya hanya akan menghasilkan ketidakadilan bagi kelompok lainnya yang selama ini jelas-jelas mengabdi kepada negara dan masyarakat. "Misalnya guru honorer dan honorer di pemerintah daerah," terangnya
sumber: rmol.co