IndonesiaKiniNews.com - “Pak ke bandara ya?” kata seorang pria dengan wajah cemas. Pria berpakaian batik itu bertanya pada sopir bus yang ak...
IndonesiaKiniNews.com -“Pak ke bandara ya?” kata seorang pria dengan wajah cemas. Pria berpakaian batik itu bertanya pada sopir bus yang akan membawa saya ke kampung halaman dari Stasiun Gambir, Jakarta Pusat, Sabtu (2/12/17).
Bukan cuma satu, sejumlah pria berwajah risau juga bertanya sama pada sopir bus dan mendapat jawaban senada, “Ini bus ke Sumatera pak”. Kebingungan memang melanda kami yang berada di di dalam bus.
Sabtu, 2 Desember, lalu lintas di sekitar Gambir dan Monas bak neraka, macet luar biasa. Ruas jalan berubah menjadi lahan parkir liar. Bukan cuma motor dan kendaraan pribadi yang, bus berbadan besar dengan pelat daerah, turut berhenti.
Pada hari itu, saat sebagian orang merayakan suka cita reuni di Monas, sebagian lagi merutuk karena terlambat.
Tepat di samping Monas, berdiri Stasiun Besar Gambir. Dari situ, selain kereta api ke sejumlah wilayah di Pulau Jawa, juga ada bus Damri, penyambung antarmoda. Rute perusahaan otobus pelat merah ini selain menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta, juga ada ke sejumlah wilayah di Provinsi Lampung.
Mereka yang mengejar jadwal keberangkatan bus, kereta, bahkan pesawat, dipastikan terganggu karena jalur di sekitar Monas, lumpuh.
Polisi pun merekayasa lalu lintas di sekitarnya. Dari empat jalur Jalan Medan Merdeka, hanya di sebelah timur (tepat di depan Gambir) yang masih diperbolehkan untuk dilintasi. Itupun hanya satu lajur yang bisa dilintasi kendaraan.
Alhasil, mereka yang dari atau akan ke Gambir harus ekstra sabar.
Termasuk beberapa pria berwajah cemas tadi. Mungkin sebagian dari mereka terlambat atau terganggu perjalannya karena sebuah acara reuni di Monas.
Acara tersebut untuk mengenang kembali sebuah acara aksi setahun lampau di tempat yang sama. Semangatnya kala itu, menuntut satu orang penoda agama agar segera dipenjara.
Sudah 12 bulan lewat, keinginan mereka juga sudah terkabul. Tapi toh aksi dengan embel-embel yang sama, 212, tetap digelar. Sejak awal mereka menampik berpolitik, dan berdalih ini adalah kegiatan rakyat sebagai bentuk rasa syukur bersatunya umat Islam.
Acara ini sekaligus digelar untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.
Tak ada acara dukung-mendukung memang di reuni itu. Acara itu diklaim murni acara agama sekaligus kumpul-kumpul bareng atau reuni.
Sopir bus yang saya tumpangi berujar, “Beragama itu simpel, sangat simpel, karena ini ditarik ke politik, jadi rumit”.
Suara hati sopir itu mungkin mewakil perasaan sebagian orang yang gusar pada acara tersebut, termasuk saya.
Lalu, jika memang acara tersebut memang acara untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad saya kok bertanya-tanya, seandainya kanjeng Rasul tahu, bagaimana sikap beliau melihat kemacetan merajalela karena acara ultahnya?
Dalam bayangan saya, beliau malah tidak akan suka atau mungkin marah, hari ulang tahunnya dirayakan, dan menyusahkan orang.
Wajah gelisah lain di Gambir saya lihat di depan toilet umum stasiun. Puluhan orang mengantre membentuk barisan sekitar tujuh meter dari pintu kakus.
Berbeda dari wajah cemas sebelumnya, wajah yang terlihat di sini nampak menahan sesuatu.
Mereka, setidaknya dari gaya berpakaiannya, adalah peserta reuni 212, bukan pengguna jasa Stasiun Gambir, yang merupakan alasan utama toilet umum itu dibangun.
Bukan cuma menumpang membuang sesuatu, peserta reuni juga memarkir kendaraanya di area parkir Gambir. Hal ini membuat kondisi stasiun semrawut, pengguna stasiun tak kebagian parkir, dan kendaraan butuh waktu lama untuk keluar area parkir.
Reuni Aksi 212 sudah digaungkan sejak jauh-jauh hari. Acara ini sempat tak diizinkan kepolisian jika diselenggarakan di Monas. Polisi hanya memberi izin jika digelar di Masjid Istiqlal.
Namun Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, mengizinkannya. Ia beralasan, Monas adalah rempat rakyat yang bisa digunakan untuk kegiatan masyarakat umum, termasuk kegiatan keagamaan.
Anies menegaskan, kegiatan keagamaan yang dimaksud, tidak merujuk pada satu agama, tapi semua agama. Menurutnya, Monas adalah simbol persatuan.
Mereka yang bergembira di Monas saat acara 212 itu memang benar rakyat. Namun wajah-wajah cemas yang mengejar jadwal keberangkatan pesawat, bus dan kereta juga adalah rakyat. Tapi rakyat mana yang lebih dulu dibela, itu adalah soal pilihan penguasa, tergantung pada tingkat kepentingan. Baik itu kepentingan umum atau kepentingan politik belaka yang sifatnya sementara.
Sumber: cnnindonesia.com