IndonesiaKiniNews.com - Sunarti (42) hanya satu dari ribuan warga Kampung Akuarium yang menjadi korban penertiban Pemprov DKI Jakarta. Sekit...
IndonesiaKiniNews.com -Sunarti (42) hanya satu dari ribuan warga Kampung Akuarium yang menjadi korban penertiban Pemprov DKI Jakarta. Sekitar April tahun lalu, sedikitnya delapan ratus bangunan diratakan dengan tanah untuk pembangunan turap.
Sulit dibayangkan memang, di perahu berukuran 10x2 meter, Sunarti tinggal bersama 19 orang atau lima kepala keluarga. Namun dia coba menikmati setiap hari yang dijalani selama 540 hari terakhir.
Kepada merdeka.com, dia berbagi kisah hari-hari yang dijalani di atas perahu. Bersama suami dan anaknya, dia harus menjemur kulit di kala terik matahari menyinari, dan berselimut dingin saat malam hari terlebih ketika hujan turun.
Segala hal dia upayakan agar keluarga tercinta tetap dalam kondisi yang baik. "Kalau hujan, baju basah semua masuk ke perahu kena baju," cerita Sunarti di Kampung Aquarium, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (2/11/17).
Belum lagi ketika angin kencang, hempasan ombak membuat air masuk ke perahu. Dia harus bergantian memompa alat agar perahu tak tenggelam. Namun dia tak punya pilihan lain saban berhadapan dengan kondisi itu. Dia menerima, asalkan tinggal bersama keluarga tercinta.
"Pindah ke mana enggak ada tempat, musala aja yang saya pikir tadinya enggak digusur enggak lama besok langsung ikut digusur juga" katanya.
Selama hidup di perahu, Sunarti hanya keluar rumah untuk sekadar mandi di MCK kampung sebelah karena akses air dan listrik tidak ada lagi seperti dulu.
Di tempat mereka, penggunaan listrik dibantu genset sehingga hanya bisa digunakan seperlunya.
Selebihnya ia keluar hanya untuk mencari uang dengan mengumpulkan besi bekas sisa bangunan rumah yang telah diruntuhkan untuk dijual.
Hal tersebut terpaksa dia lakukan lantaran tidak ada pemasukan dan suaminya sudah tidak bekerja setelah peristiwa penggusuran terjadi. Suami Sunarti bernama Juang (50), sebelumnya bekerja sebagai pelayar di kapal besar.
"Saya selama di perahu waktu itu ya enggak keluar-keluar di perahu aja. Paling keluar buat nyari besi-besi. Buat jajan anak namanya enggak ada pemasukan. Untuk mandi di MCK di Luar Batang, kalau baju kita laundry. Kalau listrik kita pakai genset beli minyaknya patungan," kata dia.
Sedangkan untuk makan dan kebutuhan hidup lainnya, Sunarti dan warga lainnya mendapat banyak bantuan. Salah satunya dari ormas FPI.
"Makan di perahu dari bantuan FPI. Bantuan mi instan sama selimut," kata Sunarti.
Sebenarnya, dia coba tinggal di rumah susun yang disediakan pemerintah. Namun mereka betah. Dia kembali lagi dan mendirikan bedeng. Tapi kembali digusur, hingga akhirnya mereka tinggal di bawah tenda yang diberikan Ketum Partai Gerindra, Prabowo Subianto.
"Sempat tinggal di rusun semalem tapi anak saya enggak betah katanya jadi balik lagi ke sini," tuturnya.
Di tengah hidup sulitnya setelah penertiban dilakukan, keluarga Sunarti harus menerima cobaan anaknya sakit hingga meninggal dunia. Belum usai, putranya juga terpaksa putus sekolah karena dia dan suami tak punya uang membayar uang UTS.
Ditemui di tempat yang sama, Juang, suami Sunarti juga mengeluhkan kondisinya setelah tak lagi bekerja. Sesekali dia terlihat lesu, lemas dan mengeluh sakit di bagian perutnya. Tidak banyak kalimat yang diucapkan lantaran kondisinya yang sedang sakit dan sulit untuk berbicara.
Keduanya tak punya mimpi muluk-muluk saat ini. Mereka hanya berharap hidup lebih baik atau paling tidak seperti sebelumnya. Kepada Anies sebagai gubernur baru, keduanya meletakkan harapan besar.
"Harapan kita ke depan maunya kembaliin lagi kampung kami, ditata enggak apa-apalah yang penting rapi supaya kita bisa tinggal lagi di sini," harap Sunarti.
Sumber: merdeka.com