Anggota auditor VII BPK Eddy Moelyadi (Foto: Agung Pambudhy/detikcom) IndonesiaKiniNews.com - Anggota auditor VII BPK Eddy Moelyadi meny...
![]() |
Anggota auditor VII BPK Eddy Moelyadi (Foto: Agung Pambudhy/detikcom) |
IndonesiaKiniNews.com - Anggota auditor VII BPK Eddy Moelyadi menyatakan DPR diberikan penilaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) agar Fahri Hamzah dan Ade Komarudin tidak marah. Selain itu, MPR juga diberikan penilaian opini WTP.
Hal itu terungkap ketika jaksa KPK membacakan berita acara pemeriksaan (BAP) Eddy. Dia dihadirkan sebagai saksi dalam sidang dengan terdakwa mantan Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dan Kabag Tata Usaha dan Keuangan Irjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo.
"Adalah depan DPR, tetapi saya bilang jangan turun opininya karena Akom bisa marah, Fahri marah, BKKBN opini WDP, DPD agak berat kalau untuk WDP, saya meminta untuk DPR dan MPR untuk WTP agar bisa amandemen," kata jaksa membacakan BAP Eddy saat sidang perkara suap opini WTP Kemendes di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/9/2017).
"Permasalahan pokok DPD adalah kegiatan-kegiatan yang tidak jelas dan tambahan honor kepegawaian dan sudah dikomunikasikan ke Sekjen maksudnya adalah keterlambatan pemberian bukti pertanggungjawaban, hal ini terjadi pada DPD maupun DPR. Begitu TVRI opini ke MP saudara Rochmadi sampaikan yang disclaimer adalah TVRI, Kemenpora, dan Kemensos. Itu maksudnya apa, Pak?" sambung jaksa membacakan BAP itu.
Eddy pun mengaku saat itu berseloroh panjang lebar karena tidak tahu sedang direkam. Belakangan, dia baru tahu ketika menjalani pemeriksaan di KPK bila anak buahnya, Rochmadi, selalu merekam pembicaraannya saat berkomunikasi melalui telepon.
"Saya kalau lihat dari temuan DPD dan DPR itu karena masalah pertanggungjawaban yang belum masuk jadi tidak ada hal yang material dan akhirnya menjelang itu semua sudah masuk yaitu mungkin saya berseloroh karena memang saya tak tahu kalau itu direkam, kalau tahu direkam saat saya rapat mungkin saya tidak berseloroh panjang gitu pak jaksa," jawab Eddy.
Jaksa lalu bertanya soal penanggung jawab yang memberikan opini WTP suatu kementerian. "Tinggal 1 pertanyaan, tadi mengenai opini WTP kalau di standar pemeriksaan keuangan saudara kan di situ ada formulir opini WTP kan di lampiran kan ada tuh nanti kita lihatkan barbuknya (barang bukti). Saya mau tanya itu yang bertandatangan siapa untuk opini WTP satu kementerian apakah dia penanggung jawab, pemeriksa, pemberi tugas, atau siapa?" tanya jaksa.
Menurut Eddy, pimpinan BPK mendelegasikan jajarannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap suatu kementerian. Nantinya, mereka pula yang menjadi penanggung jawab atas opini yang diberikan.
"Yang menandatangani laporan bisa Ketua, Wakil ketua BPK dan anggota BPK dan wewenang pendelegasian pada penanggung jawab jadi dalam keadaan hal ini, Pak Rochmadi sudah tak bisa dihubungi, saya harus take over dong pak, saya yang sign laporannya," kata Eddy.
Jadi, menurut Eddy, untuk Kemendes PDTT seharusnya Rochmadi yang tanda tangan. Namun dia sudah tidak bisa dihubungi karena ditangkap KPK, akhirnya Eddy sebagai atasan Rochmadi yang menandatangani laporan.
"Kalau Kemendes dan beberapa yang belum keluar itu saya, karena kasusnya begini pak, kami minta izin ketemu Pak Rochmadi dan Pak Ali Sadli, KPK tak mengizinkan kami untuk ketemu," jawab Eddy
Eddy yang sebelumnya pernah disindir gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait audit RS Sumber Waras mengatakan pemberian itu untuk memudahkan komunikasi semata
Komentar Wakil Ketua MPR Oesman Sapat Odang
Eddy pun mengaku saat itu berseloroh panjang lebar karena tidak tahu sedang direkam. Belakangan, dia baru tahu ketika menjalani pemeriksaan di KPK bila anak buahnya, Rochmadi, selalu merekam pembicaraannya saat berkomunikasi melalui telepon.
"Saya kalau lihat dari temuan DPD dan DPR itu karena masalah pertanggungjawaban yang belum masuk jadi tidak ada hal yang material dan akhirnya menjelang itu semua sudah masuk yaitu mungkin saya berseloroh karena memang saya tak tahu kalau itu direkam, kalau tahu direkam saat saya rapat mungkin saya tidak berseloroh panjang gitu pak jaksa," jawab Eddy.
Jaksa lalu bertanya soal penanggung jawab yang memberikan opini WTP suatu kementerian. "Tinggal 1 pertanyaan, tadi mengenai opini WTP kalau di standar pemeriksaan keuangan saudara kan di situ ada formulir opini WTP kan di lampiran kan ada tuh nanti kita lihatkan barbuknya (barang bukti). Saya mau tanya itu yang bertandatangan siapa untuk opini WTP satu kementerian apakah dia penanggung jawab, pemeriksa, pemberi tugas, atau siapa?" tanya jaksa.
Menurut Eddy, pimpinan BPK mendelegasikan jajarannya untuk melakukan pemeriksaan terhadap suatu kementerian. Nantinya, mereka pula yang menjadi penanggung jawab atas opini yang diberikan.
"Yang menandatangani laporan bisa Ketua, Wakil ketua BPK dan anggota BPK dan wewenang pendelegasian pada penanggung jawab jadi dalam keadaan hal ini, Pak Rochmadi sudah tak bisa dihubungi, saya harus take over dong pak, saya yang sign laporannya," kata Eddy.
Jadi, menurut Eddy, untuk Kemendes PDTT seharusnya Rochmadi yang tanda tangan. Namun dia sudah tidak bisa dihubungi karena ditangkap KPK, akhirnya Eddy sebagai atasan Rochmadi yang menandatangani laporan.
"Kalau Kemendes dan beberapa yang belum keluar itu saya, karena kasusnya begini pak, kami minta izin ketemu Pak Rochmadi dan Pak Ali Sadli, KPK tak mengizinkan kami untuk ketemu," jawab Eddy
Eddy yang sebelumnya pernah disindir gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) terkait audit RS Sumber Waras mengatakan pemberian itu untuk memudahkan komunikasi semata
Komentar Wakil Ketua MPR Oesman Sapat Odang
Wakil Ketua MPR Oesman Sapta Odang (OSO) mengaku kaget mendengar informasi yang mengatakan ada oknum MPR yang menekan BPK agar memberikan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) untuk MPR. Menurut OSO, Ketua MPR Zulkifli Hasan harus menjelaskan tudingan ini.
"Tanya Ketua MPR, betul nggak dia nekan? Ya dong. Jadi tanya Ketua MPR, kapan dia nekan. Saya nggak tahu, nggak pernah ada pikiran menekan itu," ucap OSO di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (27/9/2017).
OSO mengaku tak percaya MPR melakukan hal seperti itu. Menurut dia, MPR tak punya urgensi menekan BPK untuk memberikan opini WTP.
"Saya nggak pernah dengar MPR bisa nekan-nekan orang. Saya nggak percaya MPR bisanekan-nekan. Nggak ada itu istilah MPR bisanekan. Apa yang bisa? Kewenangan nggak ada," tegas OSO.
Lebih lanjut, jika informasi itu benar, OSO mengatakan, MPR seharusnya tak boleh menekan BPK. Menurutnya, tindakan itu salah.
"Nggak boleh dong, nggak boleh menekan-nekan. Kalau nekan cewek boleh. Ya kalau pacaran, tapi kalau belum kawin juga nggak boleh nekan-nekan," tutur dia.
Auditor VII BPK Eddy Moelyadi menyebut MPR diberi penilaian opini WTP agar bisa amendemen. Sebelumnya, dia menyebut opini WTP diberikan kepada DPR agar pimpinan DPR tak marah.
Eddy dihadirkan sebagai saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor dengan terdakwa mantan Inspektur Jenderal Kemendes PDTT Sugito dan Kabag Tata Usaha dan Keuangan Irjen Kemendes PDTT Jarot Budi Prabowo.
"Saya meminta untuk DPR dan MPR untuk WTP agar bisa amendemen," kata jaksa membacakan berita acara pemeriksaan Eddy dalam sidang perkara suap opini WTP Kemendes di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, hari ini.
sumber: detik.com